Pengawal Konstitusi: Saldi Isra Sebut Putusan MK di Luar Nalar

MEDIO Oktober 2023 atau tepatnya, Selasa, 17 Okt 2023, berbagai media nasional menulis berita perihal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90 Tahun 2023 yang saat itu diketuai Anwar Usman, adik ipar Presiden Joko Widodo, paman Gibran Rakabuming Raka.

Karena berkat Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 itulah, Gibran mendapat karpet merah untuk mendaftar sebagai Cawapres bersama Capres Prabowo Subianto. Meski usianya belum genap 40 tahun, dengan Putusan 90 itu, Gibran bisa melenggang dalam kontestasi Pilpres 2024.

Adalah Hakim Konstitusi Saldi Isra yang menjadi sorotan publik karena pernyataannya dalam sidang putusan gugatan batas usia Capres - Cawapres di MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023). Saldi Isra menjadi salah satu dari empat (4) hakim konstitusi yang berbeda pendapat atau dessenting opinion pada putusan MK yang memungkinkan Gibran berpeluang menjadi cawapres.

Saldi, yang juga Wakil Ketua MK, mengaku bingung soal adanya penentuan perubahan putusan MK dengan cepat. Menurut Saldi, hal tersebut jauh dari batas penalaran yang wajar.

Menurut Saldi Isra bahwa persyaratan usia minimum pejabat negara, termasuk syarat usia minimum sebagai Calon Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana diajukan dalam permohonan a quo dapat dikatakan menjadi bagian dalam doktrin political question.

Salsi Isra mengatakan, permasalahan itu seharusnya diselesaikan oleh Presiden dan DPR selaku pembentuk UU, bukan lembaga peradilan seperti MK.

Saldi Isra khawatir, putusan yang dikabulkan MK terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 terkait Pemilu batas usia Capres – Cawapres yang diajukan mahasiswa Universitas Negeri Surakarta (Unsa) bisa menurunkan kepercayaan publik kepada MK.

Saldi Isra dalam dissenting opinion menyatakan menolak permohonan a quo atas perkara 90/PUU-XXI/2023. Menurut dia sikapnya sama sebagaimana dalam putusan MK Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023. Saldi lantas mengungkap terdapat belasan permohonan uji materi syarat usia capres-cawapres yang termaktub dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu.

Dari belasan perkara itu, hanya perkara nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 yang diperiksa melalui sidang pleno untuk mendengarkan keterangan presiden, DPR, pihak terkait, dan ahli.

Untuk memutus 3 perkara itu, MK kemudian menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) pada 19 September 2023. Pada saat itu terdapat 8 hakim konstitusi yang hadir dalam RPH, yaitu Saldi Isra, Arief Hidayat, Manahan MP Sitompul, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P Foekh, dan M Guntur Hamzah.

Dalam RPH pada 19 September 2023, Ketua MK Anwar Usman (saat itu) justru tidak hadir. Hasil RPH menyatakan bahwa enam hakim konstitusi, MK sepakat menolak permohonan pemohon. Sebanyak 6 hakim juga tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka atau open legal policy pembentuk undang-undang. Sementara itu, dua hakim konstitusi lainnya memilih sikap berbeda atau dissenting opinion.

Mahkamah lantas menggelar RPH berikutnya untuk memutus perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 dan nomor 91/PUU-XXI/2023 yang juga menyoal syarat usia capres-cawapres dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu.

RPH kedua itu dihadiri oleh sembilan hakim konstitusi, tak terkecuali Anwar Usman. Dalam RPH kedua itu beberapa hakim yang semula memosisikan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 sebagai kebijakan hukum terbuka tiba-tiba menunjukkan ketertarikan dengan model alternatif yang dimohonkan pemohon dalam petitum Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.

“Sebagian hakim konstitusi dalam putusan MK nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 yang berada pada posisi Pasal 169 huruf q sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, kemudian pindah haluan dan mengambil posisi akhirnya dengan ‘mengabulkan sebagian’ perkara nomor 90/PUU-XXI/2023,” ujar Saldi.

Dari lima hakim konstitusi yang setuju untuk “mengabulkan sebagian” gugatan nomor 90/PUU-XXI/2023, tiga hakim membuat syarat alternatif bahwa jika seseorang belum berusia 40 tahun, tetap bisa mencaonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden jika pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk kepala daerah.

Sementara, dua hakim konstitusi lain yang setuju untuk “mengabulkan sebagian” gugatan, membuat alternatif aturan bahwa jika seseorang belum berusia 40 tahun, tetap bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden jika pernah atau sedang menjabat sebagai gubernur. Perubahan sikap sejawatnya itu membuat Saldi bertanya-tanya.

Menurut dia, seandainya RPH yang digelar untuk memutus Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 dihadiri oleh sembilan hakim konstitusi, akankah norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 masih tetap didukung mayoritas hakim sebagai kebijakan hukum terbuka atau tidak.

Sebaliknya, jika RPH memutus perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tetap sama dengan komposisi hakim dalam Putusan MK Nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023, yaitu tetap delapan hakim tanpa dihadiri hakim Anwar Usman, apakah putusan akan tetap sama atau berbeda.

“Dalam hal ini, secara faktual perubahan komposisi hakim yang memutus dari delapan orang dalam Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 menjadi sembilan orang dalam Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 tidak hanya sekadar membelokkan pertimbangan dan amar putusan, tetapi membalikkan 180 derajat amar putusan dari menolak menjadi mengabulkan, meski ditambah dengan embel-embel ‘sebagian’, sehingga menjadi ‘mengabulkan sebagian’,” tutur hakim Saldi.

Saldi juga berpendapat seharusnya MK pun menolak permohonan a quo. "Bahwa berkaitan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tersebut, saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda ini," kata Saldi.

Saldi mengatakan, sejak menjadi Hakim Konstitusi pada 11 April 2017, baru kali ini ia mengalami peristiwa yang dianggap “aneh” yang “luar biasa”. Bahkan, Saldi berujar peristiwa itu bisa dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar. "Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat," ujar Saldi.

Saldi mengatakan, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUUXXI/2023, MK secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan syarat batas usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya.

"Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak, sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam Putusan a quo?" tegas Saldi.

Gabung Mahkamah

Pada 11 April 2017, Presiden Joko Widodo resmi melantik Guru Besar Hukum Tata Negara Saldi Isra untuk menggantikan Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi masa jabatan 2017 – 2022. Pria kelahiran 20 Agustus 1968 tersebut berhasil menyisihkan dua nama calon hakim lainnya yang telah diserahkan kepada Presiden Jokowi oleh panitia seleksi (Pansel) Hakim MK pada 3 April 2017 lalu.

Putra pasangan Ismail – Ratina ini mempunyai nama sejak lahir, Sal. Ketika hendak mendaftar SD, kepala Sekolah menanyakan kepada Sang Ayah perihal namanya yang terlau pendek. Sang Ayah pun menambahi ‘-di’ di belakang namanya menjadi Saldi. Barulah pada kelas 6 SD, menambahkan nama ‘Isra’ sebagai nama belakangnya yang merupakan singkatan dari nama kedua orangtuanya tercinta.

“Jadi Isra itu bukan saya lahir malam isra miraj itu gabungan dari orang tua laki-laki dan perempuan IS itu Ismail dan RA itu Ratina. Jadi Ismali Ratina itu saya improvisasi tanpa ijin ke orang tua saya, sudahlah saya buat sendiri saja,” kenang penyandang gelar Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada tersebut.

Saldi Isra yang mengambil jurusan fisika pada masa SMA, tidak pernah terbayang untuk mengambil jurusan ilmu hukum. Seperti kebanyakan anak muda seusianya ketika itu, cita-citanya hanya masuk Institut Teknologi Bandung (ITB) atau AKABRI, apalagi ia memiliki nilai di atas rata-rata.

Ia pun memilih untuk mengikuti PMDK ke ITB, namun siapa sangka, takdir belum berpihak padanya. Ayah tiga anak itu pun tak patah arang. Ia kembali mencoba peruntungannya dengan mengikuti tes Sipenmaru pada 1988 untuk jurusan Geologi ITB.

Kembali, Saldi Isra harus menelan pil pahit ketika namanya tak lolos. Meski banyak omongan yang hendak mengecilkan semangatnya untuk menjadi mahasiswa ITB, ia tetap bersikeras untuk kembali mengikuti UMPTN 1989 dan kembali beroleh kegagalan.

Dua kali gagal, akhirnya membuat Saldi Isra memutuskan hijrah ke Jambi untuk mencari kerja. Usai merasa uang yang dimilikinya cukup untuk melanjutkan kuliah, Saldi kembali mencoba mengikuti tes lagi.

Pada 1990, ia kembali mendaftar UMPTN, namun jika sebelumnya ia memilih jurusan IPA, maka ia beralih memilih IPC dengan pilihan jurusan yang pragmatis. Tiga jurusan tujuannya, yakni Jurusan Teknik Pertambangan Universitas Sriwijaya, Jurusan Teknik Sipil Universitas Andalas, dan terakhir, Jurusan Ilmu Hukum Universitas Andalas. Pilihan terakhirnya, kata Saldi, merupakan pilihan yang tidak ia pikirkan dan ia cantumkan untuk mengisi jurusan IPS.

Pada akhirnya, Saldi pun lolos UMPTN, namun pada jurusan yang tak ia duga sebelumnya; Ilmu Hukum. Namun keinginannya untuk melanjutkan pendidikan kejenjang perguruan tinggi tercapai. Ia pun kembali ke Padang dari perantauannya ke Jambi.

Namun berita lolosnya Saldi sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas tidak serta-merta disambut baik oleh keluarga di Paninggahan, Solok. Keluarga menginginkannya tetap bekerja untuk menyokong perekonomian. Tetapi, Saldi berhasil meyakinkan keluarganya bahwa kuliahnya nantinya tidak akan memberatkan perekonomian keluarga.

Untuk itulah, setiap akhir pekan, Saldi Isra memutuskan mengajar di Madrasah Aliyah dekat dengan kampung halamannya.

Bagi Saldi, menjadi mahasiswa Fakultas Hukum benar-benar pengalaman baru. Jika sebelumnya, ia lebih familiar dengan rumus-rumus matematika dan fisika, kala itu ia harus banyak membaca dan menulis.

Saldi tetap tekun menjalani masa perkuliahannya sebagai mahasiswa fakultas hukum dan akhirnya menghasilkan Indeks Prestasi (IP) Semester 3,71. Ia lebih teryakinkan bahwa pilihannya tidak salah ketika pada Semester 2, Saldi meraih IP 4. Maka tak mengherankan ketika menamatkan pendidikan S1 pada 1995, ia mendapat Predikat Summa Cum Laude dengan IPK 3,86.

Usai tamat pendidikan S1, Saldi yang adalah lulusan terbaik langsung dipinang untuk menjadi dosen di Universitas Bung Hatta hingga Oktober 1995 sebelum akhirnya berpindah ke Universitas Andalas, Padang.

Saldi Isra pun mengabdi pada Universitas Andalas hampir 22 tahun lamanya sambil menuntaskan pendidikan pascasarjana yang ia tuntaskan dengan meraih gelar Master of Public Administration di Universitas Malaya, Malaysia (2001). Kemudian pada 2009, ia berhasil menamatkan pendidikan Doktor di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dengan predikat lulus Cum Laude.

Setahun kemudian, Saldi dikukuhkan sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas.

Di sela kegiatannya sebagai pengajar, Saldi dikenal aktif sebagai penulis baik di berbagai media massa maupun jurnal dalam lingkup nasional maupun internasional. Ribuan karyanya yang ia tulis sejak masih duduk di bangku mahasiswa membuatnya dikenal luas di kalangan masyarakat.

Tak heran, jika wajahnya kerap berseliweran di media massa baik elektronik maupun cetak sebagai narasumber. Saldi pun dikenal sebagai Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Unand yang memperhatikan isu-isu ketatanegaraan.

Tak hanya itu, Saldi Isra juga terlibat aktif dalam gerakan antikorupsi di Tanah Air. Oleh karena itu, ia dikenal dalam dunia hukum tata negara Indonesia sebagai seseorang yang ‘tumbuh di jalanan’.

Hal inilah yang awalnya membuat Saldi khawatir dan berulang kali memikirkan impiannya menjabat sebagai hakim konstitusi.

Sebagai seorang yang bergelut dalam bidang tata negara, ia tak memungkiri memiliki impian untuk duduk sebagai hakim konstitusi. Namun, Saldi menuturkan impiannnya menduduki posisi itu setelah usia 55 tahun. Tetapi, tiada yang dapat mengira jalan takdir yang dituliskan Tuhan untuk seorang Saldi Isra. Justru di usia yang masih terbilang muda, yakni 48 tahun, posisi yang ia impikan berhasil ia duduki.

Bukanlah hal mudah bagi Saldi memutuskan untuk mewujudkan mimpinya sebagai seorang hakim konstitusi. Pergolakan batin dalam dirinya yang merasa belum mumpuni dari sisi usia hingga begitu beratnya hati untuk menanggalkan status sebagai dosen menjadi pemikirannya.

Pada akhirnya, kata-kata yang diberikan oleh Mantan Ketua MK periode 2008 – 2013 Moh. Mahfud MD berhasil menggugah hatinya untuk mendaftarkan diri pada proses seleksi hakim konstitusi tahun 2017. “Pak Mahfud pernah mengatakan ‘Mas, kalau Anda tetap tidak mau daftar, Anda sebetulnya tidak mau membuka jalan untuk generasi baru di MK. Nah, itu beberapa pertimbangan saya,” tutur penggemar olahraga bulutangkis ini.

Keberhasilannya tak lepas dari dukungan sang istri tercinta, Leslie Annisaa Taufik dan ketiga orang buah hatinya. Bagi Saldi, keluarga adalah tempat ia kembali pulang dan memulihkan kondisi jiwa dan raga dari jenuhnya aktivitas. Keluarga baginya adalah penyemangat hidup. Ia selalu berupaya untuk makan malam bersama dengan istri dan buah hatinya ketika ia kembali ke Padang.

“Saya kembali dari Jakarta itu dengan pesawat terakhir dari Jakarta 19:50. Sampai di Padang pukul 22.00 WIB dan itu saya berusaha untuk tidak makan di penerbangan maupun lounge supaya bisa makan bersama mereka (istri dan anak-anak). Padahal dari bandara ke tempat saya itu berjarak sekitar 35 kilometer. Rata-rata sampai rumah pukul 11.00 malam dan (mereka) masih menunggu,” ceritanya.

Ia berharap keberadaannya di MK bisa memberikan sumbangsih bersama dengan hakim konstitusi lainnya beserta segenap pegawai di lingkungan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK untuk mengembalikan muruah MK.

Ia berharap semua elemen di MK bekerja di satu titik secara optimal hingga pelan-pelan membawa MK ke level yang lebih tinggi.

Saldi Isra dilantik oleh Presiden Jokowi pada 11 April 2017 sebagai Hakim Konstitusi, menggantikan Patrialis Akbar. Saat ini Saldi Isra menjabat sebagai Wakil Ketua MK. Semoga tekadnya untuk bisa mengembalikan muruah MK itu terealisasi. Aamiin. (*)

Mochamad Toha