Putusan MK Bersifat Final, Wajib Batal Bila Langgar Hukum

UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman harus dilihat sebagai perintah langsung pasal 24C ayat (6) UUD, untuk memastikan pasal 24C ayat (5) tentang hakim yang berintegritas dan adil dapat terwujud.

Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

TUGAS Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi terkait laporan dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi sungguh maha berat. Bukan karena materinya berat, tetapi karena dikejar waktu.

Salah satu dugaan pelanggaran kode etik yang dilaporkan adalah hubungan kerabat, atau benturan kepentingan, antara pihak yang berperkara, yaitu Ketua Hakim Konstitusi MK Anwar Usman, yang berstatus sebagai adik ipar Presiden Joko Widodo, sekaligus paman dari Gibran Rakabuming Raka yang patut diduga sebagai pihak yang akan menerima manfaat dari uji perkara dimaksud di atas.

Mahasiswa yang mengajukan permohonan uji materi secara jelas menyatakan kagum atas prestasi Gibran di dalam permohonannya, oleh karena itu memohon kepada Mahkamah Konstitusi (MK) agar kepala daerah juga bisa menjadi calon presiden dan wakil presiden meskipun belum cukup umur seperti diatur di dalam UU.

Berdasarkan pasal 17 ayat (5) UU kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2008, ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dilarang ikut menangani perkara ini karena ada benturan kepentingan.

Kekhawatiran UU dan kekhawatiran masyarakat terbukti. Benturan kepentingan ini menghasilkan putusan kontroversial. Mahkamah Konstitusi diduga memutus perkara melampaui wewenang yang diberikan Konstitusi (UUD).

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman mengabaikan pasal 17 ayat (5) tersebut. Anwar Usman diduga keras mempunyai niat tidak baik dalam menangani perkara ini, sehingga menghasilkan putusan tidak berdasarkan pertimbangan hukum secara murni dan adil.

Anwar Usman mengabaikan azas iktikad baik (good faith) yang menjadi pedoman dan tuntutan dalam menjalankan hukum secara adil.

Karena itu, para pelapor dugaan pelanggaran kode etik memohon kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi agar menyatakan Anwar Usman bersalah melanggar pasal 17 ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman.

Sebagai konsekuensi, putusan hakim tersebut dinyatakan tidak sah, atau batal demi hukum, sesuai bunyi pasal 17 ayat (6) UU Kekuasaan Kehakiman.

Pada kesempatan konferensi pers yang digelar oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (31/10), wartawan bertanya apakah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie tidak menjawab secara jelas. Jimly Asshiddiqie ragu apakah mempunyai wewenang membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi, dengan alasan pasal 24C ayat (1) UUD menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final.

Sedangkan hierarki UU Kekuasaan Kehakiman tersebut berada di bawah UUD sehingga tidak bisa bertentangan atau membatalkan pasal di dalam UUD.

Jimly Asshiddiqie kemudian minta kepada masyarakat untuk memberi alasan yang bisa meyakinkan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, bahwa putusan Mahkamah Konstitusi itu bisa dibatalkan.

Dalam kesempatan ini, saya ingin memberi sumbang saran bahwa putusan Mahkamah Konstitusi terkait perkara ini wajib dinyatakan tidak sah, sesuai konstitusi. Artinya, tidak melanggar pasal 24C ayat (1) UUD dimaksud.

Alasan pertama, UUD dibuat berdasarkan norma dalam kondisi normal atau kondisi ideal, di mana semua pihak taat hukum, dan mematuhi semua peraturan perundangan-undangan yang berlaku dalam menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing.

Tetapi, kalau satu kondisi tercipta akibat ada penyimpangan atau pelanggaran hukum, maka secara otomatis UUD tidak bisa dan tidak boleh melindungi pelanggaran hukum tersebut. Sebab, UUD itu dibuat berdasarkan azas good faith atau iktikad baik.

Artinya, dalam hal putusan Mahkamah Konstitusi diambil dalam kondisi normal dan tidak ada pelanggaran hukum, maka benar, putusan Mahkamah Konstitusi tidak bisa diganggu gugat atau dibatalkan. Final.

Tetapi, kalau putusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan pelanggaran hukum, apalagi kalau ada tindak pidana, maka putusan tersebut menjadi cacat hukum dan tidak sah, harus batal demi hukum.

Dalam hal ini, putusan tidak sah tersebut tidak ada kaitannya dengan pasal 24C ayat (1) UUD. Putusan tidak sah tersebut harus dimaknai bukan membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga artinya tidak melanggar pasal 24C ayat (1) UUD.

Selain itu, putusan final Mahkamah Konstitusi di pasal 24C ayat (1) UUD tidak boleh digunakan untuk melindungi putusan Mahkamah Konstitusi yang melanggar hukum.

Majelis Kehormatan Mahkamah konstitusi bahkan harus memaknai sebaliknya. Kalau terbukti terjadi pelanggaran pasal 17 ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman dalam menangani perkara ini, maka putusan hakim menjadi tidak sah, dan “putusan tidak sah” tersebut bersifat final dan mengikat, sesuai pasal 24C ayat (1) UUD.

Perlu ditegaskan, secara prinsip, konstitusi tidak boleh melindungi kejahatan. Prinsip ini wajib ditaati oleh semua pihak. Oleh karena itu, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi tidak boleh membiarkan pasal 24C ayat (1) dijadikan tameng untuk melindungi kejahatan, kalau terbukti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berdasarkan pelanggaran kode etik dan mufakat jahat.

Bagi pihak yang secara sadar melindungi kejahatan termasuk ikut berbuat jahat.

Kedua, pasal 24C ayat (5) menyatakan: “Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi ……”

Kalau terbukti Anwar Usman melanggar kode etik dan pasal 17 ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman, maka Anwar Usman melanggar pasal 24C ayat (5) UUD ini: Anwar Usman tidak mempunyai integritas, kepribadiannya tercela, tidak adil, bukan negarawan meskipun memahami konstitusi, tapi tidak menjalankan kekuasaannya sesuai konstitusi.

Selain itu, ketiga, pasal 24C ayat (6) UUD memerintahkan, agar ketentuan lainnya diatur dengan undang-undang. Pasal 24C ayat (6) berbunyi: “Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, …. serta ketentuan lainnya …. diatur dengan undang-undang.”

UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman harus dilihat sebagai perintah langsung pasal 24C ayat (6) UUD, untuk memastikan pasal 24C ayat (5) tentang hakim yang berintegritas dan adil dapat terwujud.

Dalam butir menimbang UU Kekuasaan Kehakiman No 48 Tahun 2009 disebutkan secara eksplisit, untuk mewujudkan kekuasaan hakim yang merdeka, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, sesuai perintah UUD, maka diperlukan UU tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dalam butir Mengingat bahkan disebutkan lebih eksplisit lagi, bahwa UU tentang Kekuasaan Kehakiman bagian dari penjabaran UUD, antara lain Pasal 24C.

“Mengingat: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;”

Dengan demikian, UU Kekuasaan Kehakiman harus dilihat sebagai wujud nyata untuk melindungi konstitusi dari potensi kejahatan, yang sekarang ternyata terbukti, dan sedang berlangsung.

Pasal 17 ayat (5) khususnya untuk melindungi konstitusi dari kejahatan hakim, sesuai kriteria pada pasal 24C ayat (5) UUD.

Dengan demikian, semoga Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dapat melihat permasalahan ini secara jernih, bahwa pelanggaran terhadap pasal 17 ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman pada hakekatnya adalah pelanggaran terhadap Pasal 24C ayat (5) UUD, sehingga putusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan pelanggaran hukum atau kejahatan, wajib batal. (*)