Aksi Brutal Itu Atas Perintah Langsung

Proses hukum yang diawali dengan penangkapan dan penetapan Tersangka perlu pengawalan yang serius. Masih kuat kekhawatiran bahwa ini hanya "drakor" untuk tidak mengungkap siapa dalang di belakangnya.

Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan

PERISTIWA aksi gerombolan yang menyerbu ruang acara Silaturahmi Forum Tanah Air (FTA) di Hotel Grand Kemang Jakarta masih terus bergulir, baik tindakan maupun pemberitaan. Terakhir adalah penjelasan Ditreskrimum Polda Metro Jaya bahwa pihaknya telah menahan 5 orang, yang 2 diantaranya ditetapkan sebagai Tersangka.

Sebelumnya Kapolsek Mampang Kompol Edy Purwanto menyatakan ada 25 orang yang masuk ke dalam dan melakukan perusakan.

Dua Tersangka FEK dan GW memang terlibat dalam perusakan dan penganiayaan, 3 lainnya masih dalam pemeriksaan. Pihak Kepolisian juga sedang melakukan investigasi internal atas kemungkinan keterlibatan aparatnya.

Yang menarik dalam video yang beredar Tersangka FEK mengancam dan menyatakan bahwa aksi yang dipimpinnya itu adalah atas "perintah langsung". Perintah langsung siapa atau pihak mana ?

Memang kecil kemungkinan gerombolan preman ini bergerak atas inisiatif sendiri, pasti ada pihak yang memberi order entah untuk kepentingan apa. Hanya ujaran "perintah langsung" menunjukkan pentingnya posisi dari pihak pemberi perintah itu. Beberapa kemungkinan, yaitu:

Pertama, pihak yang ingin menutupi atau mengalihkan isu skandal Istana Akun Fufufafa. Isu ini dinilai berat dan dapat menghancurkan karier Wapres jadi-jadian. Perlu isu besar pengimbang. Serbuan gerombolan atas FTA dan tokoh-tokoh nasional adalah modus. Preman Fufufafa pantas untuk nama pasukannya.

Kedua, terkait keterlibatan pihak Kepolisian yang seperti memberi ruang bagi gerombolan preman bermasker untuk mengobrak-abrik ruangan. Pelukan dan cium tangan memberi sinyal kebersamaan dan persahabatan. Atas hal ini level "perintah langsung" bukan tingkat Polsek lagi tapi sudah tingkat tertinggi. Kapolri Listyo Sigit Prabowo patut untuk bertanggung jawab.

Ketiga, yang berada di dalam ini adalah tokoh-tokoh yang memiliki reputasi politik nasional. Hal itu diketahui peserta aksi yang tercermin dari nama yang tertulis dalam spanduk dan poster seperti "Din Syamsuddin", "Said Didu" atau lainnya.

Karenanya pemberi perintah langsung itu patut diduga adalah pemegang kekuasaan politik yang sedang panik. Joko Widodo patut dicurigai.

Reaksi publik atas perilaku politik panik, brutal, dan primitif ini sangat kuat. Jawara Betawi dan Ormas Islam turut terusik dan siap menghadapi arogansi gerombolan "numpang hidup" di Jakarta itu. Jika tidak cepat diantisipasi, maka konflik horizontal bisa berimbas pada kerusuhan politik yang lebih luas.

Proses hukum yang diawali dengan penangkapan dan penetapan Tersangka perlu pengawalan yang serius. Masih kuat kekhawatiran bahwa ini hanya "drakor" untuk tidak mengungkap siapa dalang di belakangnya.

Terlalu jika serbuan brutal dan terang-benderang atas acara FTA, hanya sampai pada penetapan Tersangka FEK dan GW.

Sebagaimana G 30 S PKI, maka ada nuansa September kelabu saat ini. Diawali aksi Bambang Soesetyo pada 9 September 2024 soal Tap MPRS No XXXIII/MPRS/1967, G 22 S JKI yang gagal tanggal 22 September 2024, Pasukan Bawah Tanah Jokowi yang melindungi Fufufafa tanggal 27 September 2024 dan terakhir serbuan gerombolan atas acara FTA tanggal 28 September 2024.

September bulan terakhir masa jabatan Jokowi. Fenomena akhir buruk yang merepresentasi keburukan pemerintahannya. Pada 30 September 2024 lalu sejatinya layak dikibarkan bendera setengah tiang untuk mengenang peristiwa G 30 PKI.

Rezim Jokowi juga membuat kenangan duka pada bulan September 2024. G 9 S JKI, G 22 S JKI, G 27 S JKI dan G 28 S JKI.

Ayo usut dan tuntaskan skandal bangsa yang memalukan dan memilukan ini. Proses hukum para dalang, tidak terkecuali Joko Widodo. (*)