Pilpres AS dan Islamophobia
Mereka membalik fakta yang sesungguhnya. Puluhan ribu nyawa rakyat sipil, khususnya anak-anak dan wanita melayang. Tapi mereka membangun persepsi seolah komunitas Muslim dan Arab yang menjadi ancaman.
Oleh; Shamsi Ali Al-Kajangi, Putra Kajang di Kota New York
SELINTAS tampak keduanya tidak punya korelasi. Pilpres adalah proses politik dan demokrasi di sebuah negara. Sementara Islamophobia adalah fenomena sosial keagamaan yang terjadi dalam sebuah masyarakat. Namun, di Amerika keduanya memilki relasi yang dekat dan kuat.
Dalam beberapa kesempatan saya sampaikan bahwa Islamophobia di dunia Barat, khususnya Amerika, diakibatkan oleh beberapa faktor penting. Ada yang disebabkan oleh ketidak-tahuan (ignorance). Juga karena faktor media yang seringkali tidak jujur bahkan membolak-balik realita tentang agama ini.
Belum lagi karena faktor sejarah interaksi Islam dan Barat yang masih menyisakan momok yang menakutkan. Dan, tentunya juga karena memang Islamophobia saat ini telah menjadi sumber kehidupan (profit) bagi orang-orang tertentu.
Namun ada lagi satu faktor penting yang cukup signifikan dan seringkali menjadi sumber keresahan dan kesulitan bagi umat di dunia Barat, Amerika khususnya.
Itulah faktor politik. Di mana Islam dijadikan alat untuk meraih dukungan luas masyarakat. Dengan sengaja, para politisi yang punya kepentingan tersebut menghembuskan “angin kemarahan dan ketakutan” di tengah masyarakat tentang Islam, lalu mereka menampilkan diri sebagai “salvation” (juru selamat) dari bahaya Islam itu.
Donald Trump misalnya pada kampnye pilpres pertamanya terdahulu selalu menyampaikan bahwa Islam itu hadir untuk mengambil-alih negara Amerika. Di mana-mana Trump mengampanyekan bahwa “they have come to take over our country” (mereka atau orang-orang Islam telah datang untuk merebut negara kita). Bahkan dalam berbagai kesempatan Trump mengatakan: “they hate us” (mereka orang Islam membenci kita).
Berbagai pernyataan Trump tersebut telah membakar kemarahan bangsa Amerika di satu sisi dan menumbuhkan ketakutan (Phobia) di sisi lain. Apalagi kita diingatkan bahwa pada masanya Donald Trump mengeluarkan keputusan Presiden (Presidential decree) untuk melarang orang Islam masuk Amerika (dikenal dengan Muslims ban).
Masa-masa itu adalah masa yang cukup sulit dan meresahkan, walau tak menakutkan. Meresahkan karena terjadi suasana yang tidak bersahabat. Tapi, bagi kami tidak menakutkan karena selain kami percaya Allah, juga kami masih percaya dengan hukum Amerika yang masih efektif (belum dikadali oleh penguasa seperti di tempat lain).
Pengaruh politik dalam menumbuhkan Islamophobia ini sangat besar. Saya kembali teringat proyek masjid yang akan kita bangun dekat Ground Zero. Masjid itu terletak dua blok jaraknya dari Ground Zero (bekas gedung WTC yang runtuh pada 2001). Rencana pendirian Masjid ini dipergunakan oleh seorang calon Gubernur New York dari Partai Republican bernama Rick Lazio.
Dialah yang mengampanyekan jika Masjid ini akan dibangun sebagai simbol kemenangan Islam melawan Amerika. Akibatnya 70 persen penduduk kota New York menentang pendirian Masjid itu.
Untungnya Walikota New York ketika itu, Michel Bloomberg, seorang Yahudi dan billionaire, tetap konsisten mendukungnya. Dalam sebuah kesempatan acara buka puasa di kediaman Walikota saya duduk satu meja dengan beliau. Saya tanyakan beliau yang mendukung proyek masjjd itu. “Anda adalah Yahudi, Walikota New York yang warganya 70 persen menetang. Kenapa Anda mendukung proyek pembangunan masjid itu?” tanya saya.
Jawaban beliau mengejutkan saya: “saya tidak mendukung proyek masjid, bukan juga mendukung Komunitas Muslim. Tapi saya mempertahankan Konstitusi negara saya yang menjamin kebebasan beragama”.
Jawaban beliau ini menjadikan saya terkagum dengan beliau. Sekaligus menguatkan hati saya bahwa hukum (Konstitusi) di Amerika masih efektif. Hukum tidak dimainkan sesuai kecenderungan dari hawa nafsu penguasa. Bahkan, penguasa harus tunduk kepada hukum yang telah disepakati bersama.
Islamophobia juga tumbuh di tingkat Pemerintahan federal (pusat) karena kepentingan politik ini. Satu contoh yang sering saya sampaikan adalah bagaimana Newt Gingrich, mantan Speaker atau Ketua DPR (Congress), sewaktu berkampanye untuk menjadi kandidat presiden dari Partai Republikan.
Salah satu yang sering dia sebutkan di mana-mana adalah “bahaya Shariah Law”. Anti hukum atau aturan Islam yang dianggap bertentangan, bahkan membahayakan negara Amerika menjadi salah satu tema kampanyenya.
Sikap Gingrich ini sangat antitesis dengan kenyataan yang sesungguhnya. Karena, sesungguhnya dialah yang pertama kali memberikan izin kepada pegawai Muslim di Senate dan Kongress (Capitol Hill) untuk mengadakan jumatan (Friday prayer) di gedung Capitol Hill (gendung Kongress AS). Jumatan adalah praktik hukum Islam yang mendasar. Tapi ketika kampanye hukum Islam dianggap bertentangan dengan Konstitusi, bahkan membahayakan Amerika.
Kini pilpres AS kembali memanas. Ada dua kandidat yang bertarung. Kamala Harris dari Partai Demokrat dan Donald Trump dari Partai Republikan. Saya tidak tertarik membahas kebijakan luar negeri mereka. Karena AS siapapun Presidennya jika sudah menyangkut kebijakan luar negeri sama saja. Baik dari Partai Demokrat maupun Republican sama-sama syetan (evil).
Akan tetapi jika merujuk kepada kebijakan domestik kami masih diuntungkan oleh Partai Demokrat. Bukan secara nilai (value moral). Karena Demokrat adalah Partai liberal yang mendukung banyak hal yang secara moral keagamaan tidak kita terima. Tapi minimal mereka memberikan ruang untuk komunitas Muslim bernafas dan bergerak.
Inilah yang kita tangkap sebagai peluang untuk bermanuver melakukan “gerakan perubahan” untuk perbaikan (islaah).
Dan karenanya dengan segala keburukan yang ada di Partai Demokrat dan Kamala Harris, kali ini nampaknya Komunitas Muslim akan cenderung memilihnya. Ada suara-suara yang menyerukan “boikot total” pilpres. Tapi saya pribadi menyerukan untuk mengambil bagian minimal sebagai ikhtiar agar “the big evil” tidak menang dan kembali dengan lebijakan dan karakter yang ugal-ugalan.
Ancaman Trump jelas. Walaupun kali ini yang diancam secara langsung adalah “immigran”. Namun kita sadar bahwa kata imigran itu mencakup Komunitas Muslim yang masih diidentikkan sebagai pendatang.
Poinnya adalah Islamophobia kembali menggeliat karena pilpres US yang sedang memanas. Tapi kali ini lebih runyam lagi karena faktor Gaza justeru dianggap membahayakan Amerika. Banyak politisi yang membalik realtà seolah karena peristiwa Gaza Amerika terancam oleh Komunitas Muslim dan Arab.
Mereka membalik fakta yang sesungguhnya. Puluhan ribu nyawa rakyat sipil, khususnya anak-anak dan wanita melayang. Tapi mereka membangun persepsi seolah komunitas Muslim dan Arab yang menjadi ancaman.
Itulah realita yang pahit. Tapi sayangnya umat seringkali menjadi apatis dan tidak bisa berbuat apa-apa. Apakah ini akan terus berlanjut? Wallahu a’lam! (*)