Hamzah Haz, Penjaga APBN Dekade 1990-an dan 2000-an

Apa yang dilakukan politisi sekarang ini? Mengeruk APBN dan mendulang utang di luar kemampuan membayarnya. Mestinya Menteri Keuangan Sri Mulyani bisa berdiri rasional dalam kebijakan seperti Hamzah Haz.

Oleh: Didik J Rachbini, Guru Besar, Rektor Universitas Paramadina

SELAMAT Jalan Pak Hamzah Haz. Kita kehilangan lagi politisi negarawan, sekaligus penulis, pemikir, dan kolumnis yang rajin memberikan pencerahan masalah-masalah ekonomi politik, hal kenegaraan, khususnya politik anggaran dan APBN.

Tidak ada politisi yang tekun seperti Hamzah Haz dalam menulis masalah politik APBN ini di media massa pada akhir 1980-an dan tahun 1990-an. Tidak hanya menulis tetapi ia menekuninya dalam praktik kenegaraan dalam pembahasan-pembahasan di DPR dimana ia sekaligus sebagai pimpinan partai oposisi yang loyal.

Hamzah Haz adalah seorang pemimpin yang matang dan wakil presiden yang negarawan pemikir, menyukai gagasan-gagasan bangsa dalam bidang politik dan ekonomi, yang seharusnya disajikan dalam diskursus publik.

Berbeda dengan jaman sekarang yang matang dikarbit, tidak menyukai pemikiran, sekedar populer dan cuma menyukai mainan anak-anak. Sementara Hamzah Haz yang menjadi wakil presiden, saat itu menang bersaing dengan SBY, banyak menulis pemikirannya di media besar nasional, seperti Kompas, Republika, Tempo pada tahun 1980-an dan 1990-an.

Politisi jaman dulu matang ditempa jaman dan selalu bergulat dengan ide kebangsaan, tidak berbeda jauh dari generasi politisi pemikir 2-3 dekade sebelumnya. Soerkarno, Hatta, Sjahrir, Soedjatmoko dan pemimpin lainnya menguasai ide pada masanya.

Terus terang saja jika membandingkan pemimpin sekarang dengan perjalanan pemimpin seperti Hamzah Haz dan generasi sebelumnya, kita mengelus dada, jauh seperti bumi dan langit. Yang simboliknya seperti pemikiran kebangsaan, buku, dan mainan anak kecil.

Apa yang bisa ditiru dari seorang Hamzah Haz? Komitmen terhadap kepentingan nasional secara keseluruhan tenpa meninggalkan aspek realitas dan rasional. Berbeda dengan pemimpin yang idealis utopis, yang tidak berpijak pada kenyataan.

Sebagai contoh misalnya, 20 tahun lalu terjadi krisis APBN Hamzah Haz turun gunung untuk ikut menyelesaikannya. Pada pertengahan tahun 2000-an atau 2005 pro kontra kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) memuncak dan bisa mengarah ke krisis politiik.

Mantan Wakil Presiden Hamzah Haz, yang juga menjadi Ketua Umum PPP, terlibat langsung dalam lobi-lobi untuk mengatasi krisis APBN sekaligus potensi krisis politik. Subsidi kepada barang adalah pemborosan dan harus diganti menjadi subsidi kepada orang. Hamzah Haz ikut serta mendinginkan suasana dan meskipun tidak populer kemudian menyetujui kenaikan harga BBM dengan alasan kenaikan tersebut sebagai pilihan rasional.

Dalam hal ini Hamzah Haz tergolong pemimpin yang pro kebijakan yang harus berbasis evidence (evidence based policy).

Jika politik populis yang anti rasional dijalankan oleh partai politik, maka pro kontra tersebut akan mengarah kepada krisis politik dan akan membuat masalah baru gabungan krisis APBN, krisis politik dan meluas menjadi krisis ekonomi rakyat.

Apa yang dilakukan politisi sekarang ini? Mengeruk APBN dan mendulang utang di luar kemampuan membayarnya. Mestinya Menteri Keuangan Sri Mulyani bisa berdiri rasional dalam kebijakan seperti Hamzah Haz.

Tetapi, kasus Perppu 01 dan utang 1.520 triliun rupiah tahun 2020 dengan alasan covid itu adalah kesalahan sejarah keputusan APBN, yang dampaknya bisa sampai 2-3 periode kepresidenan. Kini beban utang super berat, dengan tahun utang jatuh tempo mencapai 800 triliun rupiah dan bunga yang harus dibayar menguras pajak rakyat, mencapai lebih 500 triliun rupiah.

Tidak ada lagi penjaga APBN seperti Hamzah Haz. APBN rusak pada sisi penerimaan, sekaligus lebih rusak pada sisi pengeluarannya.

Selain rusak karena kesalahan politik dan kebijakan di pusat, APBN juga menjadi target korupsi dan bancakan yang masif di banyak daerah kabupaten/kota, juga provinsi serta di banyak kementerian dan lembaga negara. (*)