Koalisi Prabowo: Melanjutkan Rejim Hibrida?

Secara politik, rejim hibrida menciptakan ketidak-stabilan politik karena (adanya) penguasa korup, mengekang kebebasan sipil, menghambat partisipasi publik dan melemahkan institusi demokrasi dimana parlemen dan peradilan dikendalikan oleh kekuasaan eksekutif.

Oleh: Radhar Tribaskoro, Komite Eksekutif KAMI (Komite Aksi Menyelamatkan Indonesia)

PRABOWO Subianto, presiden ke-8 Republik Indonesia yang akan segera dilantik, berulangkali mengatakan bahwa ia ingin membangun kesatuan politik Indonesia. Untuk itu ia bersedia berbagi kekuasaan. Ia menjanjikan posisi terhormat kepada para mantan presiden. Ia juga menawarkan jabatan kabinet kepada seluruh partai parlemen yang mau berkoalisi.

Dalam hal ini muncul pertanyaan, apakah Prabowo ini bermaksud melanjutkan tradisi politik Joko Widodo, yaitu menciptakan koalisi mayoritas absolut di lembaga legislatif dan eksekutif?

Implikasi dari koalisi mayoritas absolut pada era Jokowi telah kita ketahui: DPR lumpuh. Koalisi itu mematikan mekanisme check and balance yang sangat penting dalam demokrasi. DPR berubah menjadi stempel bagi apapun yang menjadi keinginan pemerintah. Dari sini, seluruh sistem politik terkena imbasnya.

Sistem demokrasi Indonesia akan melintir dan melahirkan Rejim Hibrida, suatu rejim kekuasaan yang memiliki semua kelembagaan demokrasi, tetapi tidak menjalankan nilai-nilai demokrasinya (Erdman 2011, Menocal 2008).

Apakah Rejim Hibrida ini yang akan ditiru dan dilanjutkan oleh Prabowo?

Rejim Hibrida

Rejim Hibrida adalah rezim kekuasaan yang memiliki karakteristik gabungan dari otokrasi dan demokrasi. Di sini lembaga-lembaga demokratis secara formal ada dan dianggap sebagai sarana utama untuk memperoleh kekuasaan. Tapi penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa memberikan keuntungan signifikan bagi mereka dibandingkan bagi lawan-lawan politik mereka.

Rejim Hibrida disebut juga Competitive Authoritarian karena partai oposisi menggunakan lembaga-lembaga demokratis untuk bersaing secara serius saat memperebutkan kekuasaan (Levitsky 2010, Howard 2006). Padahal, disadari atau tidak, lembaga-lembaga tersebut ternyata tidak demokratis karena kondisi permainan sudah disetel agar memihak penguasa yang berkuasa.

Beberapa ciri khas rejim hibrida antara lain:

1.Pemilihan umum yang tidak bebas dan adil; 2. Kebebasan pers dan kebebasan berpendapat dibatasi dengan pelbagai cara seperti misalnya UU ITE; 3. Penggunaan aparat negara untuk menekan oposisi dan kelompok masyarakat sipil; 4. Sistem peradilan yang tidak independen dan seringkali digunakan untuk menghukum lawan politik.

Adapun dampaknya antara lain: secara ekonomi, rejim hibrida menimbulkan ketidak-pastian investasi karena potensi campur tangan politik dalam urusan bisnis, meningkatnya korupsi, dan hubungan industrial yang tegang akibat pengabaian hak-hak pekerja.

Secara politik, rejim hibrida menciptakan ketidak-stabilan politik karena (adanya) penguasa korup, mengekang kebebasan sipil, menghambat partisipasi publik dan melemahkan institusi demokrasi dimana parlemen dan peradilan dikendalikan oleh kekuasaan eksekutif.

Sementara itu di lapangan budaya, rejim hibrida merepresi dunia pendidikan dan media massa dan menggunakannya sebagai alat propaganda untuk memperkuat legitimasi rejim dan, dalam beberapa kasus rejim hibrida menggunakan retorika nasionalis atau identitas bangsa, misal “Aku Indonesia, Aku Pancasila”, untuk memobilisasi dukungan dan membenarkan tindakan represif.

Strategi Melestarikan Rejim Hibrida

Rejim hibrida menggunakan berbagai taktik untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Rejim ini menggabungkan elemen-elemen otoritarian dan demokratis untuk menstabilkan sistem dan (bakal) mengurangi tantangan terhadap kekuasaan mereka. Beberapa taktik itu antara lain:

Satu; Manipulasi Pemilihan Umum. Rejim hibrida menyelenggarakan pemilihan umum yang tampak demokratis, tetapi dengan cara yang dimanipulasi. Ini bisa mencakup penipuan pemilih, intimidasi oposisi, dan pengendalian opini publik melalui rekayasa polling, pemanfaatan anggaran negara dan kekuatan polisi dan birokrasi untuk memastikan hasil yang menguntungkan bagi penguasa.

Dua; Pengendalian Media: Penguasa dapat mengontrol media massa untuk membatasi informasi yang tersedia bagi publik, mempromosikan narasi yang mendukung rezim, dan mendiskreditkan oposisi. Ini membantu menciptakan citra positif bagi penguasa dan mengurangi dukungan untuk oposisi.

Tiga; Kooptasi Oposisi: Rejim hibrida sering kali mencoba untuk mengkooptasi elemen-elemen oposisi dengan menawarkan posisi dalam pemerintahan atau akses ke sumber daya. Dengan cara ini, mereka dapat mengurangi ancaman dari oposisi yang lebih radikal.

Empat; Pembatasan Kebebasan Sipil: Meskipun ada elemen-elemen demokratis, rejim hibrida dapat memberlakukan pembatasan pada kebebasan berbicara, berkumpul, dan berasosiasi untuk mengurangi potensi protes dan tantangan terhadap kekuasaan mereka.

Lima; Penggunaan Kekerasan dan Intimidasi: Dalam beberapa kasus, rejim hibrida dapat juga menggunakan kekerasan atau intimidasi terhadap aktivis, jurnalis, dan anggota oposisi untuk menakut-nakuti mereka dan mencegah mobilisasi.

Enam; Penciptaan Aliansi Strategis: Rejim hibrida seringkali membangun aliansi dengan aktor-aktor kunci, seperti militer, bisnis, atau kelompok etnis tertentu, untuk memperkuat basis dukungan mereka dan mengurangi risiko kudeta atau protes.

Tujuh; Penyebaran Narasi Nasionalis atau Populis: Rejim dapat menggunakan narasi nasionalis atau populis (Aku Pancasila, Aku Indonesia) untuk membangun dukungan di kalangan masyarakat, dengan menekankan ancaman eksternal atau mengklaim bahwa mereka mewakili kepentingan rakyat.

Delapan; Pengelolaan Krisis: Rejim hibrida bisa menggunakan krisis, baik yang nyata maupun yang diciptakan, untuk memperkuat kontrol mereka, dengan membenarkan tindakan otoriter sebagai respons terhadap ancaman terhadap stabilitas.

Penutup

Prabowo dapat dikatakan melanjutkan Rejim Hibrida Jokowi bila ia menjalankan taktik-taktik politik Jokowi yang diuraikan di atas. (*)