Tangkap Gibran dan Jokowi
Ketika berlaku asas persamaan di depan hukum sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) maka terhadap kedua Warga Negara Indonesia yang bernama Gibran dan Jokowi itu secara hukum patut diperlakukan sama dengan siapapun.
Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
GIBRAN Rakabuming Raka yang menurut Tempo "Anak Haram Konstitusi" statusnya sebagai Cawapres sulit untuk dapat diterima baik secara etis, yuridis maupun politis. Secara etis adalah buruk karena hanya karena sebagai putera Presiden Joko Widodo maka "anak di bawah umur" ini bisa maju sebagai Cawapres.
Secara yuridis, lolosnya Gibran merupakan hasil dari perselingkuhan dan permainan hukum melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Secara politis telah terbangun politik dinasti dengan cara menginjak-injak demokrasi.
Gibran menjadi musuh bersama. Gaya politik angkuh, tidak peka dan semata bersandar pada bapak merupakan model figur seorang Pangeran dari sebuah Kerajaan. Pertolongan paman Anwar Usman dan dorongan ibu suri Iriana telah menguak ketidakmampuan diri untuk mandiri. Menjadi boneka atau alat dari perpanjangan kekuasaan famili. Selain pendukung pasangan Prabowo Subianto –Gibran Rakabuming Raka, maka suara mengritisi sudah terdengar di sana-sini.
Gibran menjadi musuh bersama. Prihatin atas kondisi perpolitikan bangsa yang mengarah pada perilaku otoritarian "negara adalah aku". Aparat negara dikerahkan, kepala desa diarahkan, baliho dipasangkan, dan KPU-Bawaslu dikendalikan. Kelicikan siap dipertontonkan untuk memenangkan Prabowo – Gibran. Ini yang dibaca rakyat kebanyakan sebagaimana media sosial memberitakan.
Gibran adalah bagian dari Nepotisme. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberi definisi bahwa Nepotisme adalah:
Pertama; Perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat. Kedua; Kecenderungaan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintahan. Ketiga; Tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan.
Nah, ini tampaknya pas untuk Gibran, Jokowi, dan Anwar Usman. Ketiganya menjadi paket dari Nepotisme. Mengapa Jokowi harus ditangkap? Karena Jokowi adalah biang dari Nepotisme itu. Ketentuan Pasal 22 UU No 28 tahun 1999 dapat terpenuhi. Pasal ini berbunyi:
"Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan nepotisme sebagaimana Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)".
Adapun Pasal 5 angka 4 menyatakan "tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme".
Mengingat ancaman perbuatan nepotisme maksimal 12 (dua belas) tahun, maka pelaku bisa ditahan setelah ditangkap.
Oleh karena itu Gibran dan Jokowi yang sudah sangat jelas diduga keras telah memenuhi unsur perbuatan nepotisme dapat segera ditahan oleh penyidik. Hal ini agar dapat berhenti perilaku cawe-cawe yang dinilai telah merusak kesehatan politik dalam berbangsa dan bernegara.
Ketika berlaku asas persamaan di depan hukum sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) maka terhadap kedua Warga Negara Indonesia yang bernama Gibran dan Jokowi itu secara hukum patut diperlakukan sama dengan siapapun.
Nepotisme adalah kriminal. Bukan tindakan yang dibenarkan dan harus dibiarkan. Segera tangkap Gibran dan Jokowi. (*)