Pasar di Amerika dan Inggris Anjlok: Masyarakat Sebaiknya Tak Beli Mobil Listrik

ANDA ingin membeli dan memiliki mobil baru atau bekas? Sebelum memutuskannya, sebaiknya memperhitungkannya secara jelas, baik dari segi perencanaan dana atau uang, penggunaan, perawatan, dan tentu nilai jual bekasnya. Apalagi, pembeliannya secara kredit.

Pilihlah mobil secara tepat dan benar, termasuk juga dari aspek penggunaan bahan bakar. Kini, ada tiga pilihan dari aspek bahan bakar, yaitu mobil yang menggunakan bahan bakar minyak atau BBM (mobil konvensional), mobil hybrid, dan mobil listrik. Mobil hybrid merupakan kendaraan yang ditonjolkan dari sisi irit bahan bakar serta memiliki kadar emisi rendah dari gas buangnya atau perpaduan antara irit BBM dan ramah lingkungan.

Pertimbangan usia mobil, tersedianya infrstuktur (suku cadang, bengkel, tempat pengisian bahan bakar dan tempat mengisi baterai) juga harus menjadi perhitungan matang, jika ingin memiliki mobil baru atau bekas. Apalagi, Anda baru pamula atau pertama memiliki mobil.

Jangan terjebak dengan slogan mobil ramah lingkungan, apalagi mobil listrik. Jangan terlalu mudah tertarik dengan penawaran dan promosi harga lebih murah. Toh, produsen mobil konvensional pun terus berupaya agar produksinya ramah lingkungan, termasuk ikut memproduksi mobil listrik.

Tentang mobil listrik, Anda harus benar-benar memperhitungkannya sebelum membelinya. Jangan terpesona bujuk rayu tenaga penjual (salesman) yang menawarkan berbagai keunggulannya. Juga jangan terbuai dengan penawaran yang dilakukan melalui media arus utama (mainstream) apalagi media sosial (medsos).

Sebaiknya, terutama yang baru pertama ingin memiliki mobil, tidak membelinya dan lebih baik membeli mobil konvensional. Kenapa dengan mobil listrik? Kendaraan yang digadang-gadang Hemat energi dan ramah lingkungan.

Nanti dulu soal hemat energi dan ramah lingkungan. Bisa ramah lingkungan, tapi boros isi kantong. Sebab, tidak ada jaminan pasti usia baterai mobil listrik itu. Jika baterai rusak dan harus diganti, harganya sangat mahal.

Kemungkinan, jika dibandingkan dengan penggunaan mobil konvensional, malah lebih irit. Misalnya, baterai harus diganti dalam usia lima atau delapan tahun. Anda bisa bandingkan, selama masa itu berapa juta rupiah uang dihabiskan membeli BBM.

Belum lagi, usia mobil listrik yang terbatas. Misalnya, jika mobil sudah berusia 15 tahun, baterai listriknya tidak bisa diganti lagi. Dengan demikian pada usia tertentu, mobilnya yang harus diganti alias menjadi barang rongsokan.

Tidak hanya itu, jika menggantinya pun harganya mahal sekali. Dari sisi lingkungan pun, mobil listrik akhirnya tidak berfungsi. Kenapa? Karena baterai mobil listrik menggunakan lithium, dan membuang bekasnya tidak boleh sembarangan.

Eropa dan Amerika Serikat yang merupakan sponsor utama kampanye penggunaan mobil listrik, kini juga sudah mulai mengeluh. Di Inggris, survei tahun lalu terhadap konsumen menunjukkan 75 persen dari mereka khawatir membeli mobil listrik bekas. Kekhawatiran terbanyak mereka adalah kondisi baterai yang tersisa pada mobil itu. Mereka waspada terhadap keausan baterai akibat pengisian berulang yang sudah dilakukan pemilik sebelumnya.

Para pemilik mobil listrik di Amerika Serikat mengeluh karena baru setahun nilai jualnya anjlok 30 sampai 47,8 persen atau hampir 50 persen. Anjloknya harga tersebut berdasarkan penelitian yang dilakukan iSeeCars belum lama ini.

Mobil listrik canggih, modern, dan cukup terkenal Marcedes-Benz EQS turun 47,8 persen setelah satu tahun dipakai. Padahal, penjualan mobil konvensional setelah pemakaian setahun paling tinggi harganya turun 25 persen dengan kondisi kendaraan normal, bukan bekas kecelakaan.

Hasil penelitian itu menyebutkan, mobil listrik mengalami depresi paling agresif di AS. Harga mobil listrik VW ID.4, Hyundai Ioniq 5, KIA EV6 dan Nissan Leaf turun lebih dari 30 persen tahun pertama kepemilikan.

Berdasarkan studi tersebut, banyak faktor yang menyebabkan harga mobil listrik anjlok. Penyebab utama karena harga baterai yang sangat mahal. Harga baterainya bisa mencapai 50 persen dari harga mobil listrik itu. Calon pembeli pun ragu-ragu dengan kondisi baterai saat membeli mobil bekas.

Bagaimana kondisi di Indonesia? Apakah pasar mobil listrik masih bergairah ketika infrastrukturnya masih minim? Apakah konsumen sudah lebih tertarik terhadap mobil listrik ketimbang hybrid dan konvensional? Apakah mobil listrik akan mampu mengubah kepemilikan kendaraan roda empat khususnya, ketika arah dan kebijakan yang diambil pemerintah membingungkan dan tidak jelas?

Jawabannya sederhana. Anda jangan mudah mengambil keputusan membeli mobil listrik, walaupun baru keluar dari pabrik. Terutama Anda yang baru pertama kali memiliki mobil. Jika mereka yang sudah lama memiliki mobil konvensional, apalagi di grasinya banyak, terserah saja. Mungkin mereka membeli sebagai pelengkap di rumahnya.

Tetapi, yang saya lihat dan dengar sendiri, beberapa orang kaya yang sudah memiliki banyak mobil konvensional, lebih tertarik hybride ketimbang mobil listrik. Alasannya sederhana, tapi menohok. Katanya, menggunakan mobil listrik itu ribet atau rumit.

Rumit, karena tempat pengecasan baterainya masih sulit ditemukan. Jangankan di daerah, di Jakarta dan sekitarnya saja masih terasa sulit menjumpai tempat-tempat pengecasan baterainya.

Ribetnya menggunakan mobil listrik itu diakui Staf Khusus Menteri Perindustrian, Wandi Wanandi. Sebagai pejabat pemerintah, ia diberi satu unit mobil listrik, sebagai kendaraan dinas.

"Menggunakan mobil listrik, harus tahu jelas tujuan kita ke mana. Jika tidak, urusannya repot. Apalagi di Jakarta yang hampir selalu macet. Jika tidak tahu jelas mau ke mana, bisa-bisa kehabisan baterai di perjalanan, dan tempat pengecasan jauh," ujar Wandi.

Jauh berbeda dengan mobil konvensional. SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umun) atau populer pom bensin mudah didapat. Ketika indikator BBM di mobil menyala, masih bisa diperhitungkan akan bisa sampai ke SPBU terdekat.

Wandi yang juga pengusaha itu mengakui banyak masalah yang harus diselesaikan dalam pengembangan mobil listrik. Tempat-tempat pengecasannya harus diperbanyak. Walaupun banyak, tetapi pengecasan baterai memakan waktu.

Seorang temannya yang ke Surabaya menggunakan mobil listrik bercerita banyak waktu terbuang untuk mengisi baterai. "Di Cirebon harus berhenti dan isi baterai ke 1 PLN (Perusahaan Listrik Negara) dan menghabiskan waktu dua jam. Kemudian di Semarang mengisi lagi, butuh waktu dua jam. Padahal, dengan adanya jalan tol, mestinya tidak seperti itu," kata Wandi. (Bersambung)

Mangarahon Dongoran