Tantangan Pendidikan Dokter Spesialis di Indonesia dan Solusi Berkelanjutan untuk Masa Depan Kesehatan

Catatan Guntur Surya Alam, Dokter SpB, Sp BA (K) Dig, MPH, FICS

PERMASALAHAN dalam pendidikan dokter spesialis di Indonesia mencerminkan kompleksitas yang mendalam, tidak hanya dari segi teknis medis, tapi juga aspek sosial, psikologis, dan kesejahteraan tenaga medis.

Kasus terbaru mengenai seorang dokter residen anestesi yang ditemukan meninggal dunia dengan dugaan depresi akibat bullying menunjukkan betapa rentannya lingkungan pendidikan kedokteran. Kasus ini menjadi simbol bahwa sistem yang ada perlu segera diperbaiki agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.

Lingkungan pendidikan kedokteran, khususnya program spesialis, memang dikenal sangat keras dan menuntut. Sayangnya, lingkungan ini kerapkali memunculkan praktik-praktik yang tidak sehat, seperti bullying oleh senior kepada juniornya.

Hal ini memperparah tekanan yang sudah besar akibat tuntutan akademik dan tanggung jawab klinis. Dalam kasus dokter anestesi tersebut, dugaan bahwa penggunaan obat Recuronium sebagai alat bunuh diri menjadi sorotan penting.

Sebagai obat relaksan otot yang biasa digunakan dalam prosedur medis, Recuronium bukanlah obat yang tepat untuk mengatasi nyeri kronis akibat HNP. Penggunaan obat ini dalam konteks non-medis, terutama dalam ruangan yang terkunci dari dalam, menunjukkan kemungkinan kuat adanya niat untuk mengakhiri hidup akibat tekanan mental yang dialami.

Bullying dalam pendidikan kedokteran harus segera ditangani dengan pendekatan yang bijak. Kebijakan untuk memberantas bullying harus seimbang, karena over-proteksi terhadap mahasiswa dapat berakibat buruk.

Jika dosen dan senior takut untuk memberikan kritik keras atau tugas berat karena khawatir dituduh melakukan bullying, kualitas pendidikan dokter akan menurun.

Dosen dan senior harus tetap memiliki ruang untuk memberikan bimbingan ketat tanpa melewati batas-batas etika. Sistem mentoring yang kuat dan dukungan psikologis yang memadai harus bisa diintegrasikan dalam pendidikan kedokteran agar mahasiswa dan residen mendapatkan bimbingan yang tepat tanpa harus merasa terintimidasi.

Di sisi lain, sistem asuransi kesehatan nasional, seperti BPJS, juga turut memperburuk kondisi tenaga medis. BPJS sering dianggap lebih baik dibandingkan dengan sistem asuransi kesehatan di negara-negara seperti Amerika Serikat.

Film "Sicko" karya Michael Moore mengkritik sistem kesehatan di AS yang berbasis keuntungan, sementara BPJS memberikan cakupan kesehatan yang lebih universal seperti di Kanada, Inggris, dan Prancis. Namun, implementasi BPJS di Indonesia belum sepenuhnya memberikan dampak positif bagi kesejahteraan tenaga medis.

Kesejahteraan dokter justru mengalami penurunan, sementara indikator kesehatan masyarakat seperti Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB), dan angka kasus tuberkulosis serta stunting masih tinggi.

Sistem BPJS perlu direvisi, terutama dalam hal penyesuaian paket layanan yang belum diperbarui sejak lama. Kesejahteraan dokter juga harus menjadi perhatian utama dalam reformasi ini, karena kesejahteraan tenaga medis berbanding lurus dengan kualitas layanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat.

Pemerintah harus memiliki goodwill untuk menggunakan kebijakan ini sebagai alat untuk membantu memperbaiki seluruh sistem kesehatan di Indonesia. Selain fokus pada layanan kuratif, BPJS juga harus memperkuat sektor preventif dan promotif, yang mencakup determinan kesehatan di luar dari sektor medis, seperti akses pendidikan, ekonomi, air bersih, dan sanitasi yang memadai.

Kualitas pendidikan dokter spesialis juga perlu mendapatkan perhatian khusus. Penghentian untuk sementara kegiatan klinis Dekan FK UNDIP akibat dugaan bullying menunjukkan adanya masalah struktural dalam pendidikan dokter spesialis.

Jika tindakan tegas terhadap bullying dilakukan secara berlebihan tanpa ada pertimbangan yang matang, ada kekhawatiran bahwa residen akan belajar secara mandiri dari buku dan video daring tanpa bimbingan langsung dari senior dan dosen yang berpengalaman. Hal ini bisa berdampak buruk pada kualitas lulusan dokter spesialis di masa depan.

Oleh karena itu, sistem pendidikan kedokteran harus mampu menyeimbangkan antara pengawasan ketat dan perlindungan hak mahasiswa, dengan tetap mempertahankan kualitas dan integritas pada pendidikan.

Masalah kesehatan nasional seperti AKI, AKB, dan stunting tidak hanya disebabkan oleh lemahnya sistem pelayanan kesehatan, tetapi juga oleh faktor-faktor determinan kesehatan lainnya.

Kesejahteraan masyarakat yang rendah, akses pendidikan yang terbatas, dan infrastruktur dasar yang kurang memadai turut berperan dalam tingginya angka masalah kesehatan ini. Kebijakan publik di sektor kesehatan harus mengadopsi pendekatan yang lebih integratif, melibatkan berbagai sektor lain untuk memastikan tercapainya hasil yang lebih baik.

Reformasi kebijakan kesehatan tidak hanya bergantung pada sistem pelayanan kesehatan, tetapi juga pada perbaikan akses terhadap pekerjaan, sumber daya ekonomi, dan fasilitas umum yang mendukung kesehatan masyarakat.

Pemerintah juga perlu memperhatikan kesejahteraan dokter residen yang bekerja di rumah sakit-rumah sakit pendidikan. Dengan banyaknya residen yang bekerja di rumah sakit besar, gaji yang layak perlu diberikan sebagai bagian dari tanggung jawab negara terhadap pendidikan tenaga medis.

Misalnya, untuk rumah sakit besar dengan 2.000 residen, anggaran sebesar Rp 24 miliar per tahun sudah cukup untuk memberikan gaji Rp 1 juta/bulan per residen. Hal ini akan memberikan motivasi lebih bagi para residen untuk bekerja dengan baik dan meningkatkan kualitas pelayanan kepada pasien.

Reformasi menyeluruh dalam sistem pendidikan dokter spesialis dan layanan kesehatan di Indonesia harus segera dilakukan.

Kebijakan yang tepat dapat membantu meningkatkan kesejahteraan tenaga medis, memperbaiki kualitas pendidikan kedokteran, dan pada akhirnya, meningkatkan kualitas layanan kesehatan bagi seluruh masyarakat. (*)