Catatan Wartawan Istana Presiden, Rizal Ramli Larang Gus Dur Tangkapi Jenderal
BICARANYA ceplas-ceplos tanpa tedeng aling-aling. Keberpihakannya kepada rakyat sangat jelas. Kecintaannya kepada negara begitu tegas. Itulah Rizal Ramli, seorang pengamat ekonomi senior yang ditakuti banyak lawan, tetapi disegani banyak kawan.
Kepribadiannya yang tegas, lugas dan sangat terbuka alias demokratis telah dilakoninya sejak lama, terutama sejak kuliah di ITB (Institut Teknologi Bandung). Dia seorang ekonom senior, politisi, dan tokoh aktivis pergerakan mahasiswa Indonesia era 1977-1978. Karena mengkritisi rezim orde baru di bawah Presiden Soeharto, Rizal Ramli pun ditangkap dan di penjara militer Sukamiskin selama 1, 5 tahun.
Kapokkah Rizal Ramli mengkritisi pemerintahan orde baru, dan juga pemerintahan orde reformasi? Tidak!
Sampai akhir hayatnya, dia tetap aktivis sejati dan pengamat ekonomi yang sangat kritis. Tidak ada rasa takut. "Sudah pernah dipenjara sebagai aktivis, bukan karena korupsi. Mau apa lagi. Di sisa umur, nyawa sekali pun saya pertaruhkan demi bangsa dan negara," kata Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian, Menteri Keuangan dan Kabulog (Kepala Badan Urusan Logistik) semasa Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Bahkan, sempat menjadi Menko Kemaritiman pada periode pertama pemerintahan Joko Widodo. Tapi, tak sampai setahun, ia dicopot karena berseteru dengan beberapa menteri Jokowi, terutama dengan Luhut Binsar Panjaitan.
Ada beberapa cerita dan kenangan menarik dari diri Rizal Ramli yang meninggal dunia di RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), Jakarta, Selasa, 2 Januari 2024. Ia dipanggil Sang Khalik dalam usia 69 tahun. Kamis, 4 Januari kemarin, jenazahnya dimakamkan di Blok AA II, Blad 47 Taman Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut, Jakarta Selatan.
Ia dimakamkan di atas pusara istri pertamanya, Herawati Moelyono yang telah meninggal dunia pada 2006. Almarhum kemudian menikah lagi dengan Marijani (Liu Siaw Fung) yang juga telah mendahuluinya pada 2011. Pemakamannya dilakukan Kamis karena menunggu putri ketiganya, Daisy Orlana dari Amerika Serikat.
Almarhum lulusan S1 Jurusan Teknik Fisika ITB. Dia melanjutkan pendidikan hingga S3 bidang ekonomi di Boston University, Amerika Serikat. Sepulang dari Negeri Paman Sam, pria yang dijuluki 'Rajawali Ngepret' itu mendirikan ECONIT Advisory Grup bersama teman-temannya. Lembaga ini cukup berpengaruh, karena analisa dan perkiraannya tentang perekonomian Indonesia hampir tidak melenceng.
Saya mengenal Rizal Ramli saat masih menjadi wartawan Harian Umum Pikiran Rakyat Bandung, yang bertugas di Biro Jakarta dengan liputan utama ekonomi dan politik, dan kemudian ditugaskan meliput di Istana Kepresidenan. Perjumpaan saya dengannya beberapa kali di kantor ECONIT di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, terutama ketika mereka menyampaikan Outlook Perekonomian Indonesia, maupun di beberapa tempat diskusi ekonomi. Pun juga wawancara lewat telefon.
Perjumpaan pun sering terjadi di Istana Kepresidenan, terutama ketika ada Rapat Kabinet Terbatas Ekonomi maupun Rapat Paripurna Menteri. Ya, meski berada di lingkaran RI-1 dan termasuk salah satu menteri yang disayang Gus Dur, tetapi sikap kritisnya tidak pernah kendur. Hanya saja, sikap kritis itu langsung disampaikan ke Gus Dur, tidak diumbar keluar atau ke media.
Harap maklum, dia disayang Gus Dur karena sama-sama aktivis prodemokrasi, yang sejak awal melawan Soeharto hingga lengser dari jabatannya. Keduanya sama-sama aktivis yang tidak punya beban, terutama menyangkut KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang menjadi tema sentral menjatuhkan Soeharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun.
Ada cerita menarik yang suatu ketika disampaikan Bang RR, demikian ia dipanggil. Suatu ketika Gus Dur memanggilnya berdiskusi macam-macam. Sampai pada satu ucapan, Gus Dur mau menangkap sejumlah jenderal ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang di dalamnya juga bergabung Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Dulu Polri menyatu dengan ABRI. Berkat jasa Gus Dur, TNI (Tentara Nasional Indonesia) akhirnya dipisah dengan Polri.
Gus Dur menganggap sejumlah jenderal, baik yang masih aktif maupun pensiun, selain diduga telah melakukan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) berupa penculikan dan penghilangan sejumlah aktivis juga dianggap masih menjadi loyalitas Soeharto.
Cerita tentang jenderal ini hampir menyambung dengan keterangan Gus Dus saat masih berada di London, Inggris, Februari 2010.
Seusai mengadakan pertemuan dengan masyarakat Indonesia, Gus Dur langsung masuk mobil. Tetapi, begitu melihat wartawan Indonesia, termasuk saya yang ikut rombongan, akhirnya Gus Dur membuka kaca jendela mobil yang ditumpanginya. Walau wawancara hanya sebentar, namun isinya sangat bagus karena menyangkut Wiranto yang dia minta supaya mundur dari jabatannya sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam).
"Saya sudah minta Wiranto resign (berhenti)," kata Gus Dur. Sebenarnya dia mau pecat, tapi menggunakan minta berhenti.
Alasannya, karena Wiranto sebagai Menko Polhukam dianggap tidak mampu mendeteksi upaya kudeta terhadap mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu. Ia memperoleh laporan dari intelijen, ada pertemuan 'gelap' alias pertemuan 'bawah tanah' di Jalan Lautze, Jakarta Pusat yang merancang kudeta terhadapnya.
Informasinya, pertemuan tersebut antara lain dihadiri Faisal Tanjung, Jenderal Purnawirawan TNI Angkatan Darat dan mantan Panglima ABRI. Pertemuan juga diikuti beberapa perwira aktif dan pensiunan, termasuk sejumlah aktivis demokrasi.
Kabarnya, intelijen yang melaporkan ke Gus Dur itu bukan dari BIN (Badan Intelijen Negara) yang waktu itu dipimpin Arie Jeffry Kumaat, Letnan Jenderal Purnawirawan TNI Angkatan Darat. Apalagi lembaga intelijen di bawah TNI, Polri dan Kejaksaan Agung. Melainkan 'intelijen bayangan' yang dibuat Gus Dur.
Nah, kembali ke cerita Rizal Ramli. Ketika Gus Dur mengatakan bahwa akan menangkap sejumlah jenderal, ia kaget. Tetapi, ia tahu Gus Dur hanya meminta saran, karena Rizal Ramli dekat dengan petinggi militer, terutama menjelang kejatuhan Soeharto. Hal tersebut tidak lain karena ia menjadi penasihat ekonomi Panglima ABRI.
Mendengar ucapan Gus Dur itu, ia pun langsung menjawab, "Jangan Gus. Itu berbahaya! Sebab, solidaritas ABRI masih kuat. Bisa-bisa Gus yang dikudeta dan ditangkap."
Mendengar jawaban RR itu, Gur Dur pun mengurungkan penangkapan sejumlah jenderal. Bahkan, karena tidak jadi ditangkap, ada juga jenderal yang menjadi capres dan cawapres yang akhirnya gagal menjadi RI-1 dan RI-2.
Banyak kenangan bersamamu Bang. Saya akan tuangkan dalam tulisan berikut, termasuk 'pesta durian' yang belum Abang nikmati, meskipun waktu itu kita sama-sama makan buah itu dirumahmu, kiriman dari seorang aktivis dan politisi asal Sulawesi Selatan, Tamsil Linrung.
Selamat jalan Abangku, tenanglah engkau di sisi Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kobaran semangat perjuanganmu akan tetap menyala dan membakar semangat kami.
Mangarahon Dongoran