Urgensi Adanya KPAI di Kota Surabaya

Catatan M. Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Pemerhati Pendidikan dan Perlindungan Anak di Jawa Timur, Tinggal di Surabaya

KOTA Surabaya, yang telah mendapatkan predikat sebagai Kota Layak Anak, bahkan Kota Layak Anak Dunia, memiliki tanggung jawab besar dalam melindungi hak-hak dan kesejahteraan anak-anak.

Tapi, di tengah berbagai program unggulan yang telah diluncurkan oleh Pemerintah Kota Surabaya, ada celah yang masih perlu diisi, khususnya dalam hal perlindungan anak usia sekolah menengah atas (SMA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah (MA).

Sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2014, pengelolaan SMA, SMK, berada di bawah kewenangan Pemerintah Provinsi dan MA yang kewenangannya di bawah Kemenag Provinsi. Sehingga ada keterbatasan bagi pemerintah kota dalam menjangkau segmen usia ini secara langsung.

Padahal dalam konteks perlindungan anak Surabaya, siapapun mereka menjadi tanggung jawab dan kewenangan pemerintah kota Surabaya.

Contoh konkret dari masalah ini dapat dilihat dalam program Sekolah Ramah Anak (SRA). Pemkot Surabaya telah meluncurkan banyak inisiatif untuk menjadikan sekolah dasar dan menengah pertama (SD dan SMP) sebagai Sekolah Ramah Anak.

Namun, ketika anak-anak naik ke jenjang SMA dan SMK, implementasi kebijakan ini menjadi terhambat karena tidak adanya sinergi antara program kota dengan kebijakan provinsi. Hal ini menyebabkan potensi celah perlindungan terhadap anak-anak usia remaja yang justru berada pada masa kritis perkembangan mental dan emosional mereka.

Kasus kekerasan di sekolah menengah atau bullying, yang sering kali terjadi di lingkungan SMA dan SMK, adalah contoh masalah yang membutuhkan perhatian khusus.

Seringkali upaya perlindungan yang dimulai sejak usia sekolah dasar melalui program-program kota seperti "Zona Anak" atau "Sekolah Ramah Anak" seolah terhenti ketika anak-anak ini memasuki pendidikan di bawah kewenangan provinsi.

Seringkali juga SMA dan SMK serta MA merasa bahwa apa yang terjadi adalah kewenangannya untuk memutuskan, sementara di satu sisi Pemkot Surabaya punya mandate untuk memastikan perlindungannya, sehingga seringkali terjadi “gap” pemahaman dan kebijakan.

Masalah-masalah seperti ini menunjukkan pentingnya sebuah badan independen di tingkat kota yang secara khusus dapat mengawasi, mendampingi, dan melindungi anak-anak di setiap jenjang pendidikan.

Keberadaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) di Kota Surabaya bisa menjadi solusi untuk menjembatani kesenjangan ini. Dengan perannya sebagai pengawas dan penengah, KPAID dapat bekerja sama dengan pemerintah provinsi dan kota untuk memastikan perlindungan anak tetap menjadi prioritas di setiap jenjang pendidikan.

KPAID juga bisa menjadi mitra strategis dalam merespons cepat kasus-kasus pelanggaran hak anak, termasuk dalam lingkungan sekolah yang berada di luar kewenangan langsung Pemkot Surabaya.

Kesimpulannya, dengan hadirnya KPAID di Surabaya, diharapkan ada sinkronisasi yang lebih baik antara kebijakan pemerintah kota dan provinsi, khususnya dalam melindungi anak-anak usia sekolah menengah.

Hal ini tidak hanya akan memperkuat status Surabaya sebagai Kota Layak Anak, tetapi juga memastikan bahwa setiap anak di kota ini, tanpa memandang jenjang pendidikan mereka, terlindungi dengan baik sesuai hak mereka.

Hadirnya KPAI Kota Surabaya, memang akan berdampak ikutan dengan adanya komitmen pemkot, namun sebagai sebuah investasi penjaminan perlindungan anak secara menyeluruh tanpa dibatasi kewenangan yang selama ini, akan sangat menguntungkan pemerintah kota, karena pemkot akan bisa dengan percaya diri memastikan perlindungan anak sebagaimana sebelum berlakunya UU 20 tahun 2014, yang membagi kewenangan pengelolaan SD, SMP, SMA serta SMK.

Pada akhirnya juga akan kembali kepada kemauan pemerintah kota Surabaya, apakah dengan segala yang ada saat ini dirasa sudah cukup atau belum, karena akan ada pemikiran bahwa tanpa KPAI, Surabaya sudah bisa berada pada posisi KLA nasional utama dan Kota Layak Anak dunia. (*)