Kaum Sejarawan Menyatakan Punjer Walisongo Keturunan Ba'alawi Yaman

Oleh: Luthfi Bashori, Pengasuh Pesantren Ribath Al-Murtadla Al-Islami Singosari, Malang

MA’HAD Aly Sa’idusshiddiqiyah Jakarta merupakan suatu lembaga pendidikan tinggi khas dari pesantren yang terletak di Jl. Panjang No. 6C, Kedoya Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11520. Didirikan oleh DR. KH. Noer Muhammad Iskandar, SQ (tokoh NU), dan Drs. KH. Surya Dharma Ali, MSi pada 2006.

Syekh Jumadil Kubro, Punjer Walisongo Keturunan Rasulullah Saw (Jalur Ba'alawi).

Sudah menjadi kesepakatan, bahwa para penyebar agama Islam di Tanah Jawa adalah para ulama yang disebut dengan “Walisongo”. Dengan demikian siapakah yang tidak mengenalnya? Bukankah kita sudah seringkali mendengar istilah Walisongo? Namun apakah sebenarnya makna Walisongo itu sendiri? Siapakah tokoh awal dalam lingkup Walisongo ini?

Bagi mayoritas muslim Indonesia, istilah Walisongo sering dikaitkan dengan keberadaan tokoh-tokoh keramat di Jawa yang berperan penting dalam usaha penyebaran dan perkembangan Islam pada abad ke-15 dan 16 Masehi.

Menurut Solichin Salam dalam buku Sekitar Walisogo, kata Walisongo merupakan kata majemuk yang berasal dari kata wali dan songo. Kata wali berasal dari bahasa Arab, suatu bentuk singkatan dari waliyullah, yang berarti ‘orang yang mencintai dan dicintai Allah SWT’.

Sedangkan kata songo berasal dari bahasa Jawa yang berarti ‘sembilan’. Jadi, Walisongo berarti ‘wali sembilan’, yakni ‘sembilan orang yang mencintai dan dicintai Allah SWT’. Mereka dianggap kekasih Allah SWT, orang-orang yang terdekat dengan Allah SWT, yang dikaruniai tenaga ghaib, mempunyai kekuatan-kekuatan bathin yang sangat berlebih, mempunyai ilmu yang sangat tinggi dan sakti berjaya kewijayaan.

Menurut Prof. KHR Moh. Adnan berpendapat bahwa kata songo merupakan perubahan atau kerancuan dari pengucapan kata sana, yang dipungut dari kata Arab tsana (mulia) yang searti dengan kata Mahmud (terpuji), sehingga pengucapan yang betul adalah Wali Sana yang berarti ‘wali-wali yang terpuji’.

Akan tetapi, pendapat tersebut tidak disepakati oleh Amen Budiman, yang dalam buku berjudul Wali Sanga Antara Legenda dan Fakta Sejarah (1982) menegaskan bahwa kata Wali Songo bermakna ‘wali sembilan’.

KH Hasyim Asy’ari menerangkan bahwa Wali Allah ialah orang yang dijaga oleh Allah SWT dari perbuatan dosa besar maupun dosa kecil, dijaga dari melepaskan hawa nafsunya sekalipun sekejap. Dan kalaupun berbuat dosa, dia segera bertaubat kepada Allah SWT, juga orang yang pengabdiannya terus-menerus tanpa disela sesuatu (istiqamah).

Menurut Hasanu Simon dalam bukunya, Walisongo terdiri dari enam periode yang bertugas secara berturut-turut. Jika salah satu anggota Walisongo ada yang kembali ke negara asalnya atau telah wafat, maka anggota Walisongo lainnya harus mencari seorang ulama lain untuk dijadikan penggantinya.

Walisongo periode pertama antara lain Syekh Jumadil Kubro, Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana Muhammad al Maghribi, Maulana Malik Isro’il, Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana Aliyuddin, dan Syekh Subakir.

Syekh Jumadil Kubro merupakan punjer dari Walisongo yang telah menyebarkan Islam di Jawa. Meskipun tidak semua, namun sebagian besar anggota Walisongo adalah keturunan Syekh Jumadil Kubro. Terdapat perbedaan penyebutan nama untuk Syekh Jumadil Kubro.

Menurut Martin Van Bruinessen dalam Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat menyebutkan nama Jumadil Kabir merupakan hasil dari perubahan nama Jumadil Kubro, seperti Jumadil Akbar menjadi Jumadil Makbur. Martin percaya bahwa nama yang asli adalah Jumadil Kubro.

Namun, nama tersebut dirasa cukup aneh karena melanggar tatanan bahasa Arab. Kubro dalam bahasa Arab merupakan kata sifat dalam bentuk mu’annas dan yang paling sesuai untuk menyebutkan nama seorang laki-laki adalah Akbar untuk bentuk kata mudzakkar. Nama asli beliau adalah Syeikh Jamaluddin al-Husain al-Akbar, lahir pada tahun 1349 M di sebuah desa di daerah Samarkand dekat Bukhara.

Samarkand dan Bukhara merupakan kota dari Uzbekistan (wilayah Asia Tengah) yang menjadi pusat keilmuan Islam pada masa Dinasti Abbasiyah, banyak Ulama yang berpengaruh dalam dunia keilmuan Islam, salah satunya adalah Syekh Jumadil Kubro ini. Kota tersebut pernah berjaya pada masanya sebelum invasi bangsa Mongol yang terjadi pada abad ke 13 M.

Syekh Jumadil Kubro disebutkan memiliki garis keturunan langsung dari Rasulullah Muhammad Saw., menurut Moch Cholil Nasiruddin dalam Punjer Wali Songo Sejarah Sayyid Jumadil Kubro menyebutkan garis keturunan tersebut dari Syekh Jumadil Kubro, yaitu Sayyid Hussein Jumadil Kubro bin Sayyid Zainul Khusen bin Sayyid Zainul Kubro bin Sayyid Zainul Alam bin Sayyid Zainal Abidin bin Sayyid Husain bin Ali/Siti Fatimah binti Rosulullah Muhammad Saw.

Rizem Aizid dalam Sejarah Islam Nusantara menyebutkan silsilah Syekh Jumadil Kubro adalah Syekh Jumadil Kubro bin Husain Jamaluddin bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali/Sayyidah Fatimah binti Muhammad Saw.

Pendapat kedua memang lebih rinci. Namun intinya, tidak ada perbedaan bahwa Syekh Jumadil Kubro merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. Wallahu A’lam.

Syekh Jumadil Kubro tumbuh dan berkembang di bawah asuhan ayahnya. Syekh Jumadil Kubro juga dibesarkan dan mendapat berbagai macam ilmu agama dari ayahnya sendiri yang bernama Sayyid Zainul Khusen. Setelah dewasa Syekh Jumadil Kubro pergi ke India tempat kakeknya berada.

Di sana Syekh Jumadil Kubro belajar dengan beberapa ulama yang terkenal. Ilmu seperti tasawuf, syariat dan keilmuan lainnya telah beliau pelajari.

Tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu tersebut, Syekh Jumadil Kubro juga melanjutkan perjalanannya ke Makkah dan Madinah untuk mempelajari berbagai macam keilmuan termasuk mendalami ilmu Islam.

Namun, tidak disebutkan siapa saja para ulama yang menjadi guru beliau ketika berada di Makkah dan Madinah. (*)