Soal Ongkos Private Jet Rp 90 Juta per Orang, Kaesang Diduga Memberi Keterangan Palsu

Pengakuan Kaesang di KPK jelas telah menjadi bumerang untuk dirinya. Pertama, dalam hal ini, Kaesang tidak bisa mengelak lagi bahwa dia telah menerima gratifikasi sebesar selisih nilai wajar biaya perjalanan private jet dengan biaya yang diakuinya.

Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

GRATIFIKASI bisa dalam bentuk langsung atau tidak langsung (alias terselubung). Gratifikasi langsung diberikan langsung kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara bersangkutan. Sedangkan gratifikasi terselubung, atau tidak langsung, adalah gratifikasi yang diberikan kepada anggota keluarga penyelenggara negara, antara lain anak.

Gratifikasi kepada anak penyelenggara negara tersebut pasti diberikan karena jabatan ayahnya sebagai penyelenggara negara. Artinya, hadiah atau kenikmatan materiil tidak akan diberikan kepada anak orang biasa, bukan pejabat penyelenggara negara.

⁠Dalam hal Kaesang Pangarep, gratifikasi pelayanan perjalanan dengan private jet ke Amerika Serikat (secara gratis) diberikan kepada Kaesang, karena status Joko Widodo, ayah Kaesang, adalah penyelenggara negara, dalam hal ini Presiden. Artinya, Kaesang tidak akan diberikan pelayanan perjalanan private jet (tanpa bayar), kalau ayahnya hanya seorang penjual martabak.

Klarifikasi Kaesang di depan KPK secara resmi bahwa biaya perjalanan dengan private jet tersebut hanya sebesar Rp 90 juta per orang, merupakan klarifikasi atau alasan yang sangat tak masuk akal. Dalam hal ini, Kaesang terindikasi jelas telah berbohong pada KPK, kepada aparat penegak hukum.

Karena KPK dapat menghitung berapa nilai wajar dari biaya perjalanan dengan private jet ini. Pasti jauh lebih besar dari Rp 90 juta per orang seperti pengakuan Kaesang. Artinya, selisih antara nilai wajar biaya private jet dengan biaya yang diakui Kaesang sebesar Rp 90 juta per orang itu, akan menjadi gratifikasi.

Pengakuan Kaesang di KPK jelas telah menjadi bumerang untuk dirinya. Pertama, dalam hal ini, Kaesang tidak bisa mengelak lagi bahwa dia telah menerima gratifikasi sebesar selisih nilai wajar biaya perjalanan private jet dengan biaya yang diakuinya.

Kedua, pengakuan Kaesang, bahwa biaya perjalanan sebesar Rp 90 juta per orang, merupakan pengakuan atau alasan yang mengada-ada dan tidak masuk akal, menunjukkan bahwa Kaesang dengan sengaja telah memberi keterangan palsu, alias berbohong, kepada aparat penegak hukum, yang mana hal tersebut merupakan perbuatan tindak pidana berat.

Berdasarkan informasi yang sangat jelas dari Kaesang, KPK harus segera melakukan penyidikan terhadap kasus gratifikasi private jet Kaesang ini. Kalau KPK membiarkan kasus Kaesang yang telah menjadi pengetahuan publik terbengkalai, maka berarti KPK menghalangi pemberantasan korupsi.

Yang jelas masyarakat akan terus bergelombang menuntut KPK agar menangani kasus gratifikasi Kaesang secara transparan dan jelas. Indonesia adalah negara hukum. KPK harus taat hukum dan taat konstitusi. Bukan taat kepada Jokowi yang sebentar lagi akan lengser (atau dilengserkan?). (*)