Copot Gelar Profesor Anwar Usman
Mempertahankan gelar Profesor Anwar Usman akan merusak citra kampus UNISSULA. Sesuatu prosedur dan ketentuan yang berlaku Rektor Unissula segeralah copot gelar profesor Anwar Usman.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
DIKETAHUI, pada Jumat (11/3/2022), Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang memberikan gelar Profesor Kehormatan kepada Anwar Usman, paman Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka.
Seorang yang memegang predikat gelar guru besar atau profesor seharusnya menjaga etika akademis, termasuk etika Anwar Usman sebagai praktisi hukum.
Setelah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan mencopot jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), setelah terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik serta perilaku hakim. Putusan ini seusai memutus Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, mengenai pengubahan syarat capres-cawapres.
Sontak sejumlah akademikus bergetar telah terjadi yang tidak wajar pada Anwar Usman, seorang Ketua MK yang menyandang gelar profesor.
Para Guru Besar dari berbagai perguruan tinggi langsung mendesak agar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi segera mencopot gelar guru besar atau profesor kehormatan Anwar Usman. Mereka menilai pelanggaran etik berat yang dilakukan hakim konstitusi itu telah mencederai muruah perguruan tinggi.
Gelar profesor Anwar Usman kini bukan saja digugat para akademisi tetapi rakyat ikut geram, meminta gelar profesor agar segera dicopot.
Berdasarkan kesimpulan dalam putusan MKMK:
Anwar Usman tidak pernah menyatakan mengundurkan diri dari proses pemeriksaan dan pengambilan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, sehingga ia terbukti telah melanggar Prinsip Ketakberpihakan, Sapta Karsa Hutama, Penerapan angka 5 huruf b, dan Prinsip Integritas serta Penerapan angka 2.
Anwar Usman juga terbukti tidak menjalankan fungsi kepemimpinannya atau judicial leadership secara optimal, sehingga dinilai melanggar Sapta Karsa Hutama, Prinsip Kecakapan dan juga Kesetaraan, penerapan angka 5.
Adik ipar Joko Widodo itu terbukti dengan sengaja membuka ruang intervensi pihak dari luar melalui proses pengambilan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik serta perilaku hakim. Putusan ini seusai memutus perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, mengenai pengubahan syarat capres-cawapres. bahkan dengan jumawa mengubah UU yang bukan wewenangnya.
“Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat prinsip ketidak berpihakan, integritas, kecakapan dan kesetaraan, independensi, dan prinsip kepantasan dan kesopanan," kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie saat membacakan putusan di Gedung I MK, Jakarta, Selasa, 7 November 2023.
Akan sangat lucu jika pelanggar etis berat, masih dipertahankan jabatannya sebagai guru besar. Kehadiran guru besar dalam sebuah perguruan tinggi adalah nilai dan prestise kampus.
Mempertahankan gelar Profesor Anwar Usman akan merusak citra kampus UNISSULA. Sesuatu prosedur dan ketentuan yang berlaku Rektor Unissula segeralah copot gelar profesor Anwar Usman.
Selain desakan pencopotan gelar profesor juga muncul dari masyarakat luas, mendesak Anwar Usman segera tahu diri keluar atau mundur sebagai hakim Mahkamah Konstitusi. Desakan itu disuarakan oleh sejumlah pihak, dari tokoh agama, aktivis, maupun politisi.
Anehnya sekaligus membuktikan bahwa Anwar Usman nyata-nyata telah rusak integritas dan etikanya justru membela diri menyebut tuduhan yang telah terbukti itu sebagai fitnah yang keji.
Layaknya seperti politisi jalanan yang buta terhadap norma hukum atau seperti bandit politik asal membela diri, buta etika lebih di atas hukum.
Semestinya Anwar Usman sadar atas kekeliruan dan kesalahannya melakukan nepotisme ugal ugalan dengan memanfaatkan jabatannya sebagai Ketua MK segera mundur dari Hakim MK.
Pencopotan profesor hanya hukuman akademis karena tidak bisa mengendalikan citra buruk dan kepercayaan masyarakat kepada MK.
Jalan terbaik adalah hakim MK saat ini semuanya dicopot, digantikan hakim yang independen, bermartabat dan utuh integritasnya, dengan mengubah UU yang mengaturnya. (*)