Tiga Syarat Utama untuk Hasilkan Pemilu – Pilpres Jurdil Berkualitas
Kehadiran lembaga Internasional ini juga sangat penting, sebagai legitimasi hasil pemilu-pilpres nantinya. Apabila ada pihak yang curang, setidaknya ada tekanan dunia internasional agar Pemilu berjalan fair berkualitas agar hasil pemilu-pilpresnya pun diakui dunia Internasional.
Oleh: DR. Anton Permana, SIP, MH, Direktur Tanhanna Dharma Mangrva (TDM) Institute
SEMUA kita pasti sangat berharap akan lahirnya seorang pemimpin dari sebuah proses perhelatan demokrasi yang jujur, adil, dan berkualitas. Pemimpin yang memang lahir secara “genuin” dari rahim pilihan rakyat. Siapapun sosok figur dan partai politiknya.
Karena sudah banyak negara di dunia ini yang menganut paham demokrasi, ketika penyelenggaran Pemilunya “curang”, maka akan rentan melahirkan badai konflik sosial yang berkepanjangan bahkan perang saudara.
Semua itu akibat tidak linearnya antara fakta aspirasi pilihan masyarakat, dengan hasil perhitungan suara. Dan biasanya, sebuah kecurangan itu memang cenderung dilakukan oleh figur kandidat yang dekat dan mempunyai akses kekuasaan.
Untuk itu, dari berbagai kajian dan sumber informasi yang diolah, agar sederhana namun presisi. Setidaknya ada “tiga” syarat utama yang mesti dilakukan bersama-sama agar pada Pemilu dan Pilpres ke depan bisa menghasilkan para pemimpin terbaik dari proses Pemilu-Pilpres yang Jurdil (jujur-adil) dan berkualitas. Yaitu:
Kesatu; Para penyelenggara negara, ASN, birokrat, BUMN, TNI/Polri, hingga semua penyelenggara Pemilu-Pilpres mulai dari KPPS-PPK-KPUD-KPU, termasuk Bawaslu dengan jajarannya, Netral-Netral-Netral. Termasuk Presiden dengan kabinetnya. Secara konkrit dan gentleman.
Kelihatannya klasik dan sederhana, namun hal ini sangat substansial dan kritikal. Karena mereka itu para inner cycle kekuasaan inilah yang “sangat rentan” melakukan kecurangan.
Kecurangan yang dimaksud tidak saja melalui kotak suara, tapi lebih kepada “keberpihakan” serta menggunakan infrastruktur kekuasaan dan kewenangan untuk memenangkan salah satu pasangan kandidat tertentu dan partai politik.
Harus ada komitmen, ketegasan, dan keberanian dari semua pihak khususnya kekuatan civil society untuk mengawal ini. Istilah gerakan “No Justice, No Viral” adalah salah satu bentuk gerakan civil society dalam menangkal dan mencegah terjadinya kejahatan dalam demokrasi ini.
Caranya: Apabila ditemukan upaya kecurangan oleh kelompok yang disebutkan di atas, maka segera rekam, dan viralkan kepada sosial media. Apakah itu berupa intimidasi, pemasangan alat peraga, pertemuan-pertemuan rahasia, penggunaan aset negara untuk kampanye, kanalisasi dan mobilisasi suara oleh perangkat pimpinan instansi, termasuk dengan proses pemungutan suara di KPPS. Gunakan HP dan jaringan sosial media kita semua sebagai senjata ampuh untuk melawan segala upaya kecurangan itu. “No justice, No viral”.
Kedua; Idealnya, dalam sisa waktu yang dekat ini. Ada semacam kebijakan khusus dari pemerintah untuk pembiayaan para saksi di TPS itu pembiayaannya berasal dari uang negara.
Kehadiran saksi di TPS ini sangat penting untuk transparansi dan legitimasi hasil pemungutan suara. Ada 842 ribu TPS seluruh Indonesia, 7900 PPK, 514 KPUD Kab/Kota yang para saksinya dari partai politik dan pasangan kandidat dibiayai oleh negara.
Agar, tak ada alasan lagi bagi parpol dan pasangan Pilpres untuk tidak menghadirkan saksinya di TPS. Mengapa ini sangat perlu dibiayai negara? Karena biaya saksi ini sangat mahal, dan juga butuh waktu berhari-hari. Akhirnya yang diuntungkan di sini tentu para Caleg, Partai Politik dan pasangan kandidat Pilpres yang punya uang banyak untuk membiayai saksi.
Tujuannya juga tentu, memastikan seluruh TPS yang mengasilkan formulir C-1 sebagai bukti otentik resmi perhitungan suara dimiliki utuh oleh seluruh Partai Politik dan Pasangan Pilpres.
Ini juga sebagai bentuk komparasi dari data C-1 yang juga sudah ada pada KPPS dah Panwaslu. Agar fair dan semua terbuka. Termasuk form D5 Teli juga wajib dipampang di TPS setempat agar masyarakat luas juga dapat melihat dan merekamnya.
Ketiga; Jujur sajalah kita pasti semua sudah sama-sama tahu, bahwa dengan kasat mata saja upaya/upaya kecurangan itu akan selalu ada dalam setiap Pemilu-Pilpres. Apalagi kalau ada pasangan kandidat dan partai politik yang dekat dengan kekuasaan. Dan, bahkan bahagian tak terpisahkan dari kekuasaan itu sendiri.
Untuk itu, karena Indonesia adalah salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Dan, banyak kepentingan dunia agar Indonesia itu stabil dan aman, maka sangat diperlukan juga keterlibatan para pengawas dunia Internasional dari PBB. Seperti lembaga Jimmy Carter Centre dahulu pada Pemilu 1999.
Selain sebagai pengawas, lembaga internasional ini juga ibarat wasit yang minimal apabila terjadi kekisruhan dalam pemungutan hasil suara Pemilu, mereka dapat jadi penengah.
Kehadiran lembaga Internasional ini juga sangat penting, sebagai legitimasi hasil pemilu-pilpres nantinya. Apabila ada pihak yang curang, setidaknya ada tekanan dunia internasional agar Pemilu berjalan fair berkualitas agar hasil pemilu-pilpresnya pun diakui dunia Internasional.
Kalau curang? Berarti konsekuensinya tidak akan mendapatkan legitimasi dan pengakuan dunia internasional.
Sebenarnya banyak hal lagi yang mesti dipersiapkan sebagai bentuk upaya “preventif action”, serta kewaspadaan nasional (padnas) kita agar penyelenggaraan Pemilu-Pilpresnya berjalan baik dan benar.
Namun, tiga hal di atas setidaknya dapat membuka mata hati kita, kesadaran kolektif kita, akan urgensi Pemilu/Pilpres yang Jurdil dan berkualitas. Agar negeri inipun segera melahirkan pemimpin yang memang murni lahir dari rahim pilihan rakyat, bukan karena pencitraan dan kecurangan. “Vox populie vox dai”. Insya’ Allah. (*)