Spiral Kematian Demokrasi

Tanggung jawab besar ini menuntut keberanian, integritas, dan komitmen setiap senator untuk berpihak pada kepentingan rakyat dan tegaknya demokrasi. Jika DPD telah mampu menjalankan perannya dengan optimal, maka gairah demokrasi di Indonesia akan tetap terjaga.

Oleh: Tamsil Linrung, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

SIMPTOM merebaknya spiral kematian demokrasi menjadi alarm. Sejumlah terobosan reformasi yang digagas sebagai ijtihad politik untuk menata ulang kehidupan kebangsaan dua dekade silam, menuai sorotan. Bukannya tumbuh dan berkembang, agenda konsolidasi demokrasi justru layu ditelan waktu.

Publik kecewa. Situasi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK) telah melenceng jauh dari imajinasi. Ketika dua lembaga ini lahir di tengah deru reformasi, kita membayangkan KPK dan MK sebagai simbol supremasi hukum dan konstitusi.

Namun kini diterpa kemelut integritas. Kepercayaan publik tergerus. Survei citra positif terhadap delapan lembaga negara yang digelar oleh Litbang Kompas belum lama ini, menempatkan MK dan KPK sebagai juru kunci.

Setali tiga uang, amanat reformasi yang lain, yaitu otonomi daerah seolah jalan di tempat. Upaya mendorong distribusi pembangunan dan mengikis problem struktural, seolah terjebak di pusaran tarik-menarik kepentingan. Ketimpangan masih jadi isu sentral di tengah gemuruh proyek-proyek mercusuar berbiaya jumbo.

Yang paling anyar, mencuat ketakutan terhadap kembalinya dwi fungsi tentara dan polisi di tengah revisi Undang-Undang TNI dan Undang-Undang Polri. Perangkat pertahanan dan keamanan itu dikhawatirkan terlalu jauh meninggalkan barak di tengah potensi ancaman regional dan global yang mengintai setiap saat.

Saat instrumen negara dan pembangunan dalam kondisi tidak menggembirakan, iklim kebebasan juga menghadapi probem yang sama peliknya. Indeks demokrasi yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Democracy Index (DI) versi The Economist Intelligence Unit (EIU), mencatat terjadi kemerosotan pada aspek kebebasan sipil dan hak-hak politik di Indonesia.

Jika diukur dengan standar global, indeks demokrasi di Indonesia itu bukan sesuatu yang dapat dibanggakan.

Keresahan publik melihat gejala-gejala mandeknya reformasi dan spiral kematian demokrasi tidak boleh diabaikan. Kita semua berkepentingan terhadap iklim kehidupan bangsa yang berkelanjutan. Di mana hukum tegak tak pandang bulu. Konstitusi diselenggarakan secara konsisten. Keadilan distributif tercapai.

Perbedaan cara pandang dikelola dengan bermartabat. Memberikan ruang bagi berkembangnya diskursus publik untuk menyokong dialektika yang konstruktif. Ruang ekspresi dan aspirasi masyarakat sipil dibuka seluas-luasnya.

Institusi pemerintahan yang kuat dan mapan, dituntut untuk menjaga stabilitas dan kepercayaan publik. Pranata kekuasaan memainkan peran fundamental dalam merangsang gairah demokrasi agar menjadi urat nadi berkembangnya dinamika politik yang sehat. Memupuk keterlibatan dari masyarakat secara aktif. Sehingga setiap keputusan diambil secara transparan, akuntabel dan partisipatif.

Kekuasaan harus berfungsi sebagai stimulan bagi keberlanjutan demokrasi yang dinamis, inklusif dan berkeadilan. Wajah kekuasaan di negara demokrasi, harus ramah pada rakyat. Mudah diakses dalam berbagai kondisi. Terbuka membangun saluran interaksi untuk menumbuhkan kepercayaan yang genuin. Struktur kekuasaan yang berakar pada kepercayaan rakyat, tumbuh dengan integritas yang kuat.

Sebaliknya, pengaruh dan kekuasaan tradisional menurut Max Weber, dibangun dengan simbol yang sangat personal. Direpresentasikan oleh sosok di etalase pucuk pimpinan. Kekuasaan yang tradisional bertautan dengan norma dalam struktur sosial.

Pemimpin dalam paradigma kekuasaan tradisional seringkali didefinisikan sebagai ekspresi tunggal atas nilai dan adat-istiadat yang berlaku. Oleh karena itu, titah dan sikap seorang pemimpin dalam kekuasaan tradisional diterima sebagai konstitusi.

Namun kekuasaan dalam konteks kepemimpinan modern menjelma sebagai suprastruktur politik yang mapan dan stabil. Di mana ritual sirkulasi terhadap kepemimpinan tidak mengoreksi kualitas kepercayaan publik pada lembaga.

Bagi dua ilmuwan Italia, Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca, meskipun terjadi perubahan atau perputaran kepemimpinan, kepercayaan publik terhadap lembaga negara menunjukkan bahwa struktur dan mekanisme institusi berperan signifikan.

Dalam pandangan Max Weber, hal ini menunjukkan bahwa legitimasi lembaga negara sangat kuat dan tidak bergantung pada individu tertentu, melainkan pada norma, aturan, dan prosedur yang dijalankan dengan konsisten.

Misi reformasi dan konsolidasi demokrasi yang dicanangkan dua dekade lalu adalah membangun pakem supaya kekuatan negara efektif menyerap berbagai dinamika yang berkembang tanpa kehilangan kendali stabilitas. Institusionalisasi kekuasaan dan perangkat politik mampu menjaga kepercayaan publik. Kendatipun dinamika kontestasi kepemimpinan sangat riuh.

Hal itu merupakan corak khas suatu negara yang mempraktikkan kedaualatan rakyat. Mutlak terjadi. Konsekuensi logis mengadopsi demokrasi.

Memang harus diakui, bangsa ini memendam trauma politik masa lalu. Dimana atas nama stabilitas, kanal-kanal demokrasi disumbat. Kebebasan dipasung. Ruang berekspresi tertutup rapat. Kendali atas stabilitas tersebut bukan manifestasi dari peran mekanisme institusi yang kita harapkan. Sebab berbagai ritual sirkulasi elit tidak dibangun di atas kesadaran dan kepercayaan kolektif.

Kita tidak lagi di era stabilitas artifisial. Namun berupaya membangun episode stabilitas partisipatif. Menempatkan sirkulasi kepemimpinan bertumpu pada kepercayaan publik. Pelembagaan yang ada di berbagai level kekuasaan dicapai melalui mekanisme politik yang legitimate, akuntable, dan juga keberlanjutan.

Paradigma Baru

Itulah satu proposal kebangsaan yang harus ditempuh untuk mengembalikan bangsa ini ke jalur konsolidasi demokrasi menyongsong episode transisi pemerintahan. Yaitu memperkuat institusi negara dan berbagai instrumen politik yang menjadi fondasi bagi konsolidasi demokrasi.

Semangat yang gigih merayakan persatuan harus dirasakan langsung oleh rakyat. Membumi. Tidak berakhir pada jargon semata.

Sebagai anak kandung reformasi, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memanggul tanggung jawab sejarah dan tanggung jawab konstitusional untuk menahan laju spiral kematian demokrasi. Polemik dan sorotan terhadap sejumlah produk reformasi, merupakan pembelajaran berharga agar DPD bisa menempatkan diri sesuai amanat konstitusi.

Secara objektif, DPD berada pada posisi yang menguntungkan jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga yang lahir dari rahim reformasi sebagaimana disebutkan. Survei Litbang Kompas bertajuk “Citra Lembaga Negara” yang dirilis Juni 2024, menempatkan DPD sebagai institusi dengan tingkat citra positif tertinggi ketiga setelah TNI dan Polri.

Senada, survei CSIS dan Indikator juga menempatkan DPD sebagai lembaga dengan pertumbuhan tingkat kepercayaan publik yang paling baik dalam masa bakti lima tahun terakhir.

Artinya, DPD telah menjelma sebagai aktor penting dalam menstimulasi dinamika demokrasi yang sehat. Kepercayaan dari publik terhadap rumah para senator ini, satu langkah konkret manifestasi suprasturktur politik yang mapan dan stabil. Tidak terkoreksi oleh arus dinamika sirkulasi elit.

Dengan positioning yang kuat, DPD mampu berada di garda terdepan dalam agenda untuk menyelamatkan misi reformasi. Tanggung jawab tersebut tidak mudah dipikul di tengah posisi gamang DPD dalam sistem ketatanegaraan kita. Terlebih, espektasi tinggi agar DPD tidak hanya menjadi lembaga yang sekadar ada. Tetapi memainkan peran dalam menjaga demokrasi tetap hidup dan berkembang di seluruh pelosok negeri.

Fungsi legislasi dan pengawasan yang melekat pada DPD mengawal pelaksanaan otonomi daerah, membuka ruang peran yang luas. Hal itu dapat dilakukan saat ini.

Tanpa harus menunggu penguatan wewenang dan fungsi DPD melalui jalur amandemen seperti yang selama ini digaungkan. DPD telah membuktikan, kendati kewenangan terbatas, namun kita mampu menjawab espektasi publik. Mengoptimalkan peran yang dimiliki.

Dukungan publik yang kuat, mendorong moral DPD untuk berperan lebih efektif sebagai lembaga legislatif. Yaitu menjadi mitra kritis pemerintah. Menjaga keseimbangan kekuasaan dan mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

Dengan langkah-langkah tersebut, DPD dapat benar-benar menjadi benteng pertahanan terakhir menjaga demokrasi Indonesia dari ancaman kemunduran.

Tanggung jawab besar ini menuntut keberanian, integritas, dan komitmen setiap senator untuk berpihak pada kepentingan rakyat dan tegaknya demokrasi. Jika DPD telah mampu menjalankan perannya dengan optimal, maka gairah demokrasi di Indonesia akan tetap terjaga.

Itulah paradgima baru penguatan DPD yang harus kita canangkan. Yaitu membawa lembaga ini ke level berikutnya sebagai lokomotif demokrasi. (*)