Megawati Versus Jokowi: Permusuhan Abadi
Catatan atas Rakernas PDIP
Sikap PDIP tentu saja dapat dicurigai sebagai "cuci tangan" atas kerusakan demokrasi dan sistem sosial politik belakangan ini. Sebab, PDIP adalah partai penguasa selama 10 tahun ini. Namun, kita harus pula bisa melihat sejarah, terkadang, melalui satuan waktu tertentu atau episode.
Oleh: Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle
SETIDAKNYA ada 5 hal penting yang tersirat dalam sikap dan pidato Megawati Soekarnoputri pada acara Rakernas PDIP di Jakarta 24-26 Mei kemarin, yang menunjukkan permusuhannya terhadap Joko Widodo akan berlangsung seumur hidupnya.
Pertama, Megawati tidak mengundang Jokowi untuk hadir. Ini adalah bentuk de facto tidak ada lagi hubungan PDIP dengan Jokowi, meskipun Jokowi masih punya keanggotaan PDIP.
Kedua, PDIP menyatakan pilpres 2024 curang secara terstruktur, sistematis dan massif (TSM) serta menolak kehadiran Gibran Rakabuming Raka, anak Jokowi di panggung politik nasional. Penolakan PDIP itu terkait atas Putusan MK Nomor 90 Tahun 2023 yang membuat Gibran bisa masuk dalam panggung politik pilpres dianggap melanggar konstitusi kita.
Mega juga marah dengan KPU dan Bawaslu yang tidak menyelenggarakan pemilihan umum secara sungguh-sungguh, yakni jujur, adil, bebas dan rahasia.
Ketiga, acara Rakernas PDIP ini diwarnai simbol kemarahan, yakni patung Banteng berdarah yang tertusuk panah, dan simbol perjuangan nan tak kunjung padam, dengan pembawaan Api Mrapen ratusan KM secara marathon, dari Grobogan, Jateng.
Kemarahan ini tentu saja terkait dengan perasaan dikhianati Jokowi yang merupakan kader mereka sendiri. Namun, simbol api menunjukkan keinginan mereka untuk bangkit dan berjaya.
Keempat, Megawati tersirat sudah menyiapkan tokoh baru sekelas atau lebih tinggi dari Jokowi, ketika belum presiden dulu, yang dielu-elukan. Dalam hal ini seperti Jenderal TNI Purnawirawan Andika Perkasa. Pada penyebutan Andika, Mega menyentil kebanggaan Andika menjadi anggota PDIP dan meminta dia untuk tidak berkhianat maupun marah, kelak, kalau disebut kader partainya.
Kelima, terdapat butir pengusulan kembali Megawati sebagai Ketua Umum PDIP sampai 2030, dalam 17 poin rekomendasi politik yang dihasilkan rakernas tersebut. Ini berarti partai PDIP telah mengunci isu yang pernah berkembang bahwa Jokowi akan berusaha merebut PDIP nanti suatu saat.
Spekulasi bahwa permusuhan Megawati versus Jokowi yang dicurigai selama ini sebagai drama tentu telah terjawab. Sikap partai dan Megawati dalam Rakernas kemarin merupakan situasi resmi yang mengikat seluruh kader partai mereka.
Beberapa tokoh-tokoh PDIP yang mempunyai kedekatan personal dengan Jokowi harus gigit jari. Keputusan Rakernas sepertinya tidak memberikan ruang manuver atau ruang abu-abu bagi Jokowi dan "agennya" di partai tersebut.
Lalu apa dampak sikap Megawati dan PDIP dari rakernas tersebut bagi bangsa kita?
Pertama, pencabutan dukungan secara de facto dari PDIP terhadap Jokowi akan membuat Jokowi seperti "jelangkung". Ada jiwa, tanpa badan. Pada pencariannya, Golkar maupun PAN berusaha memberikan "badan" kepada Jokowi. Namun, secara teoritik tidak gampang menyatukan Jokowi dengan Golkar ataupun PAN.
Di Golkar itu ada dedengkotnya, Aburizal Bakri, yang anak dan menantunya pernah dipenjara oleh rezim Jokowi untuk perkara yang seharusnya cukup direhabilitasi. Ini mungkin susah mem-fix-kan kehadiran Jokowi secara mulus.
Sedangkan di PAN, yang warnanya Muhammadiyah, terlihat sulit menerima Jokowi yang selama ini tidak merepresentasikan Islam. Akhirnya, mungkin Jokowi akan menjadi politisi "jelangkung" sampai habis masa kepresidenannya.
Kedua, pernyataan sikap PDIP adanya kecurangan TSM dan tidak menerima Gibran karena putusan anti konsitusi pada putusan MK 90, menunjukkan posisi PDIP sepanjang pemerintah Prabowo 2024-2029 di luar kekuasaan.
PDIP hanya meminta kekuasaan Prabowo ke depan untuk adil terhadap partai di luar kekuasaan. Permintaan ini merupakan tanda bahwa selama rezim ini saat berkuasa telah terjadi diskriminasi terhadap parpol oposisi.
Lebih lanjut, implikasi dari kedua hal dia atas adalah pertama, PDIP menganggap kepemimpinan Prabowo akan bersifat anti konstitusional selama ada Gibran di sampingnya. Ini adalah tantangan pada Prabowo untuk bersikap kelak, apakah mempertahankan kehadiran Gibran atau memilih mengakui sikap PDIP tersebut.
Kedua, apakah Prabowo berhenti untuk merayu PDIP ke dalam pangku kekuasaan dia ke depan ataukah Prabowo membentuk suatu komite nasional untuk rekonsiliasi dengan tugas mengevaluasi tuduhan-tuduhan PDIP bahwa terjadi kerusakan demokrasi secara parah saat ini.
Ketiga, sikap oposisi PDIP ke depan akan berguna bagi payung politik masyarakat sipil dalam bersikap kritis pada pemerintah Prabowo ke depan. PDIP dan masyarakat sipil (Civil Society) dapat bersinergi mengembalikan demokrasi dan pemerintahan bersih.
Sikap PDIP tentu saja dapat dicurigai sebagai "cuci tangan" atas kerusakan demokrasi dan sistem sosial politik belakangan ini. Sebab, PDIP adalah partai penguasa selama 10 tahun ini. Namun, kita harus pula bisa melihat sejarah, terkadang, melalui satuan waktu tertentu atau episode.
Saat ini, dalam episode ini, PDIP telah sejalan dengan perasaan mayoritas rakyat yang merasakan kehancuran Indonesia, baik hancurkan demokrasi, meroketnya hutang, meluasnya rakyat kurang gizi/stunting dan merajalelanya mafia dalam kekuasaan negara.
Kita tetap dan harus mengapresiasi sikap Megawati dan hasil rekomendasi politiknya untuk perbaikan bangsa ke depan. Wa bil khusus permusuhan Megawati terhadap Jokowi. (*)