Oposisi Munafik Mengais Sisa Kue di Tempat Sampah
Kecurangan tidak boleh ditoleransi. Tidak KPU, tidak MK dan tidak pula Jokowi atau Prabowo dan Gibran. Bertenggang rasa pada keterpilihan curang akan melengkapi penerimaan budaya tenggang rasa pada korupsi, politik sandera, mafia, nepotisme dan penyalahgunaan hukum.
Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
BANYAK tokoh oposisi dan juga partai politik akhirnya "belot" mendukung "kemenangan" Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka. Awalnya gigih teriak bahwa KPU dan MK membuat putusan hukum "curang" dan tidak dapat menerima kecurangan tersebut. Namun akhirnya teriakan itu ditelan sendiri dengan merapat dan menyatakan dukungan kepada Prabowo – Gibran.
Alasan dukungan atau menerima Prabowo – Gibran beragam. Ada yang menyatakan bahwa kompetisi sudah selesai, sehingga tidak bermanfaat lagi untuk terus menolak.
Ada pula yang berdalih hal ini sebagai strategi untuk memisahkan Prabowo dengan Gibran atau mendorong agar Prabowo berani melawan Joko Widodo. Bukankah jika Jokowi tidak lagi sebagai Presiden maka pengaruh atas Prabowo akan melemah?
Alasan harus segera "move on" merupakan ciri dari karakter pemimpin lemah, "memble" dan juga membuat preseden buruk bahwa kecurangan dapat ditoleransi. Pilpres 2014 curang, 2019 curang dan kini 2024 curang lagi. Bangsa Indonesia akan memiliki predikat bangsa yang mempersilakan maling-maling untuk berkuasa. Bangsa dari Negara yang diperintah oleh para penjahat.
Jokowi adalah biang dari kejahatan itu. Dien Syamsuddin dalam salah satu acara di Petamburan melambungkan bola "brengsek" yang segera di-"smash" Habib Rizieq Syihab dengan berulang memberi predikat "si brengsek".
Si brengsek ini dinilai telah mendalangi pembantaian 6 syuhada pengawal HRS di Km 50. Kecurangan Pilpres 2024 ternyata buah karya Jokowi melalui cawe-cawe, bansos, politik sandera, KPU maupun MK.
Alasan strategi memisahkan Jokowi dengan Prabowo adalah ilusi politik terbaru. Gibran menjadi Cawapres itu atas kemauan Prabowo dengan tujuan agar Jokowi "all out" membantu. Prabowo sendiri mengakui secara terbuka bahwa kemenangannya disebabkan oleh peran Jokowi. Kini Jokowi, Prabowo, dan Gibran adalah satu. Three in one.
"Membunuh" Jokowi dengan mendukung Prabowo merupakan kesia-siaan yang berakar pada pikiran dangkal. Solusi dari keputus-asaan perjuangan. Sebelum Putusan MK, Jokowi telah terlebih dahulu membawa Prabowo ke Presiden Xi Jinping di Beijing.
Tentu untuk menjamin kelangsungan dan kebersamaan "three in one". Jokowi sadar bahwa setelah lengser ia tidak akan mampu mengendalikan Prabowo, akan tetapi Xi Jinping bisa.
Para oposan yang merapat ke Prabowo harus mendapat jaminan deklarasi Prabowo yang menolak campur tangan China. Ini yang tidak mungkin. Jokowi telah mendapat garansi bahwa Prabowo akan melanjutkan "tanpa syarat" kerjasama erat dengan China. Karenanya kecil kemungkinan Prabowo akan sanggup membangkang pada Jokowi, "adik" Xi Jinping.
Kecurangan tidak boleh ditoleransi. Tidak KPU, tidak MK dan tidak pula Jokowi atau Prabowo dan Gibran. Bertenggang rasa pada keterpilihan curang akan melengkapi penerimaan budaya tenggang rasa pada korupsi, politik sandera, mafia, nepotisme dan penyalahgunaan hukum.
Kerusakan negara disebabkan oleh kekalahan oposisi yang kemudian berubah menjadi pragmatis. Oposisi munafik.
Mereka berharap masih ada sisa-sisa dari pembagian kue kekuasaan. Kemudian, tanpa rasa malu sibuk mengais-ngais di tempat sampah. (*)