Pilpres Alibaba: Kemenangan Oligarki dan Xi Jinping

Bangsa ini memang tak pernah belajar dari sejarah, maka dengan datangnya penjajah gaya baru, penguasa sebagai boneka adalah akibat sejarah perjuangan lepas dari penjajahan ditutup agar bangsa Indonesia kembali menjadi buta dan tuli dari sejarah kehidupannya.

Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih

PILPRES 2024 adalah pilpres paling gelap dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Semua berada di lorong siklus kegelapan dalam lanskap politik kembali ke alam penjajahan.

Angan-angan terciptanya kehidupan demokrasi yang normal sebagai aktivitas politik yang diwarnai dengan nilai demokrasi sesuai nilai-nilai Pancasila bisa hidup tumbuh berkembang secara alami, makin menjauh dari harapan.

Seiring dengan lahirnya taman politik buatan hasil rekayasa telah meluluhlantakkan budaya sebuah demokrasi yang jujur, adil, bebas dan rahasia. Dalam masa kekinian gejalanya akan rontok berubah menjadi kehidupan demokrasi kering, bahkan mati dalam taman politik buatan penjajah gaya baru.

Sejarah kehidupan politik Indonesia terus berjalan, tidak semakin baik justru tenggelam hidup dalam kegelapan.

Penguasa lupa atau mengabaikan sejarah yang merupakan produk hukum alam, seluruh rangkaian peristiwanya akan berulang-ulang tetap terperosok dalam dalam lubang yang sama.

Jadi benarlah apa yang dikatakan "jangan sekali-kali melupakan sejarah". Sejarah begitu penting agar manusia tidak menjadi keledai yang terperosok lubang berkali-kali.

Sebuah pertanyaan yang memberi kesan memprovokasi penafsiran kita terhadap Pilpres peristiwa kekinian dan baru saja terjadi.

Dalam lintasan sejarah kekuasaan di nusantara, penjajah berkuasa berabad-abad bermula dari adanya persekutuan mereka dengan kaum komprador yang berambisi pada kekuasaan. Lalu, dengan berbagai macam teknik rekayasa sosial, devide et impera menjadi cara paling efektif untuk melahirkan penguasa yang mereka inginkan.

Cerita klasik ini berlanjut sampai kini, disadari atau tidak "Pilpres Alibaba" tak ubahnya pengulangan kaum penjajah untuk mengekspos penguasa boneka pilihannya.

Sindiran atau kritik dari Sun Yat Sen cukup tajam mengatakan "Indonesia adalah bangsa yang tidak punya keinginan untuk membebaskan diri dari penindasan ibarat “a sheet of loose sand”. Bagaikan pasir yang meluruk dan rapuh. Tiada keteguhan, sehingga mudah ditiup ke mana-mana”.

Bangsa ini memang tak pernah belajar dari sejarah, maka dengan datangnya penjajah gaya baru, penguasa sebagai boneka adalah akibat sejarah perjuangan lepas dari penjajahan ditutup agar bangsa Indonesia kembali menjadi buta dan tuli dari sejarah kehidupannya.

Tragis tapi nyata, telah menjadi kenyataan "Pilpres Alibaba" adalah Pilpres penjajahan gaya baru. Pelakunya dengan riang-gembira sebagai kemenangan.

Sadar atau tidak kemenangan Pilpres Alibaba 2024 adalah oligarki dan Xi Jinping (Presiden RRC), dengan gemilang telah berhasil membuat penguasa boneka lanjutan di Indonesia. (*)