Agustus Berhembus Brutus
Birokrat dan politisi yang berbenteng aparat penegak hukum terus mengumbar kebijakan yang distortif dan destruktif. Angkuh memaksakan kehendak dan arogan memamerkan kekuasaannya. Sementara rakyat kesakitan menjadi alas pijakan, menjadi bulan-bulanan kekuasaan.
Oleh: Yusuf Blegur, Kolumnis dan Mantan Presidium GMNI
MARCUS Junius Brutus, lebih dikenal Brutus, kini hidup kembali dan nyaman mendiami republik. Sifat dan agresivitasnya muncul dalam pengkhianatan dan konspirasi politik. Telanjang bertubuh birokrasi dan politisi. Intelektual, pemuka agama, partai politik dan pelbagai elemen (para) aktivis pergerakan, mengekor dan ramai-ramai menjadi pelacur sosial.
Menjelang 17 Agustus 2024, memperingati hari ulang tahun ke-79 RI yang begitu sakral. Di tengah kontradiksi makna kemerdekaan yang hakiki dengan pelbagai krisis multidimensi negara. Perayaan proklamasi kedaulatan Indonesia itu kian terasa hambar, tanpa arti dan semakin semu.
Wabah KKN, karut-marut IKN dan pelbagai bentuk penjajahan rakyat oleh bangsa sendiri, seolah-olah menegaskan kemerdekaan masih harus terus diperjuangkan.
Faktor fundamental telah kehilangan kesejatian kemerdekaan Indonesia, tak semata karena faktor kondisi globalisme. Lebih dari itu, pengkhianatan dan kejahatan juga datang dari rakyatnya sendiri. Penjajahan yang mampu diusir dari Bumi Pertiwi karena kepahlawanan itu, kini disambut terbuka dengan sikap mental penghianatan.
Bangsa Indonesia selayaknya bercermin pada sejarah Marcus Junius Brutus, yang Populer sebagai Brutus, seorang senator Romawi yang terlibat pembunuhuan Julius Caesar pada 44 SM.
Brutus ini dikenal dunia menjadi representasi dari pengkhianatan dan konspirasi dalam kekuasaan dan pemimpin politik. Terlepas dari polemik substansi perilaku dan peristiwa yang terjadi pada diri Brutus termasuk oleh kalangan filsuf seperti JJ Rosseau, John Lock, Thomas Hobber dll. serta tak luput oleh pengadilan sejarah.
Seorang Brutus telah menjadi simbol dari pengkhianatan dan kejahatan.
Indonesia saat ini yang menjadi bagian dari pemerintahan satu dekade dalam kepemimpinan Joko Widodo. Seperti telah memasuki fase puncak pengkhianatan dan kejahatan pada cita-cita suatu proklamasi kemerdekaan dan keinginan para pendiri bangsa.
Praktik-Praktik penyelenggaraan negara oleh rezim Jokowi, begitu kontradiktif dan destruktif dari tujuan kemerdekaan rakyat, negara, dan bangsa Indonesia.
Tujuan negara kesejahteraan (welfar state) bertolakbelakang dengan kenyataan. Mimpi-mimpi soal kemakmuran dan keadilan hanya mewujud penindasan dan kesengsaraan. Konstitusi hancur-lebur dan demokrasi diberangus, serta rakyat pun menjadi korban yang hanya berselimut kemiskinan dan kebodohan. Kepahlawanan yang mahal, begitu berharga dan tak ternilai begitu murahnya ditukar dengan pengkhianatan dan kejahatan.
Kemiskinan dan kebodohan “by design” yang dilakukan secara terstruktur, sistematik dan masif terus menyelimuti bangsa Indonesia. Keterbelakangan peradaban itu bahkan terjadi sejak dini usai proklamasi kemerdekaan Indonesia dilansungkan.
Mental budak dan rendah diri begitu melekat pada bangsa Indonesia saat masih dalam kekuasan kerajaan (monarkhi), penjajahan dan hingga bertransformasi ke bentuk negara republik kekinian.
Kemunduran peradaban bangsa linear dengan semakin surutnya nasionalisme dan patriotisme para leluhur. Daya rusak para pemangku kepentingan publik dan masyarakat yang menjelma pada trias politika, bersumber pada hasrat duniawi yang mengejar harta, tahta dan wanita.
Birokrat dan politisi yang berbenteng aparat penegak hukum terus mengumbar kebijakan yang distortif dan destruktif. Angkuh memaksakan kehendak dan arogan memamerkan kekuasaannya. Sementara rakyat kesakitan menjadi alas pijakan, menjadi bulan-bulanan kekuasaan.
Penyimpangan IKN dan pelbagai proyek strategis nasional yang korup dan menindas. Bertengger kokoh menyelimuti harga sembako melambung, pajak mencekik, biaya pendidikan tak terjangkau, harga BBM dan tarif listrik kian menjulang.
Tak berhenti dalam masalah-masalah itu, manipulasi konstitusi dan demokrasi menjadi cara bobrok melanggengkan kekuasaan. Partai politik, intelektual, ulama dan pemuka agama serta komponen penyangga negara lainnya begitu mudah melacur dan murah dibeli.
Rezim Jokowi sebenar-benarnya dan senyata-nyata telah membawa kerusakan di bumi pertiwi.
Setiap 17 Agustus 1945 sepertinya telah menjadi dongeng semata. Pengorbanan keringat, darah dan nyawa para pejuang kemerdekaan sekonyong-konyong sia-sia, hilang. Segenap tumpah darah Indonesia menjadi tak berarti, ditelan Brutus-Brutus dari generasi penerus bangsa.
Kepahlawanan telah digantikan posisinya olen penghianatan. Kemerdekaan sempurna diambil-alih oleh kejahatan. Pada 17 Agustus 2024 yang sedianya menjadi momen refleksi dan evaluasi bagi negara dan bangsa Indonesia.
Menjadi antiklimaks kemerdekaan di penghujung kekuasaan Jokowi yang mengakhiri musim-musim kebiadaban. Ya, bulan kemerdekaan yang penuh pengkhianatan. Agustus yang berhembus Brutus. (*)