Beban Kerja dan Stresor Berat Bisa Ancam Nyawa Setiap Tenaga Kesehatan Termasuk Dokter PPDS

Catatan Guntur Surya Alam, Dokter SpB, Sp BA (K) Dig, MPH, FIC

PERISTIWA tragis yang mengakibatkan kematian seorang dokter PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis) di Program Anestesi RSUP Dr. Kariadi telah menimbulkan kekhawatiran yang serius.

Meskipun penyebab kematian masih dalam penyelidikan, ada spekulasi bahwa dokter tersebut mungkin bunuh diri akibat beban kerja yang berlebihan, atau kemungkinan karena penyakit yang tidak terdeteksi.

Selama ini, beban kerja bagi PPDS memang sudah berat, tetapi yang memperparah situasi adalah target kinerja yang tinggi yang ditetapkan oleh Rumah Sakit Vertikal, termasuk operasi elektif 24 jam yang diamanatkan oleh Kementerian Kesehatan.

Beban kerja ini memengaruhi semua pihak yang terlibat, termasuk DPJP (Dokter Penanggung Jawab Pelayanan), PPDS, dan semua perawat di bagian bedah. Secara alami, posisi PPDS yang lebih rentan menyebabkan mereka paling menderita.

Banyak dari mereka yang tidak mendapatkan istirahat yang cukup selama 24 jam penuh, yang jika terjadi terus-menerus, akan merusak kondisi fisik dan mental mereka.

Peristiwa ini harus menjadi pelajaran dan mendorong evaluasi ulang mengenai jam kerja DPJP dan PPDS. Jika sistem kerja 24 jam harus tetap dijalankan, harus ada pemantauan ketat, dan jumlah PPDS perlu ditingkatkan untuk mencegah kelelahan.

Kondisi kerja yang ideal memerlukan keseimbangan antara pekerjaan, istirahat, dan rekreasi untuk menjaga kesehatan secara menyeluruh.

Sehubungan dengan hal ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah mengeluarkan surat edaran yang memerintahkan untuk penghentian sementara Program Anestesi di RSUP Dr. Kariadi sampai investigasi menyeluruh selesai dilakukan, seperti yang tercantum dalam surat resmi.

Penghentian sementara ini penting untuk memastikan bahwa langkah-langkah yang bertanggung jawab diambil guna mencegah tragedi serupa di masa mendatang.

Dengan merenungkan kejadian ini, diharapkan kebijakan akan direformasi untuk memastikan bahwa jam kerja dan kondisi bagi para tenaga medis berkelanjutan, tidak hanya demi efisiensi tetapi juga demi kesehatan dan keselamatan semua pihak yang terlibat.

Sejumlah laporan menyebutkan bahwa jam kerja "normal" bagi PPDS Anestesi di RSUP dr. Kariadi adalah sekitar 18 jam per hari. Mereka harus masuk pukul 6 pagi dan seringkali baru bisa pulang antara pukul 12 malam hingga pukul 2 atau 3 pagi, hanya untuk kembali bersiap di rumah sakit pada pukul 6 pagi keesokan harinya.

Kondisi ini berlangsung terus-menerus selama masa studi yang bisa mencapai lima tahun. Lebih parah lagi, ketika mereka mendapat giliran jaga, durasi kerja bisa mencapai 24 jam atau bahkan lebih lama, hingga 5-6 hari tanpa bisa pulang, karena seringkali harus melanjutkan operasi yang terus berlanjut melebihi giliran jaganya.

RSUP Dr. Kariadi, sebagai rumah sakit vertikal dengan jumlah operasi yang sangat tinggi mencapai sekitar 120 pasien per hari menempatkan beban kerja yang besar pada PPDS, yang kenyataannya bertanggung jawab atas seluruh proses anestesi, sementara itu DPJP hanya bertindak sebagai penerima laporan.

Situasi ini, yang selama ini dianggap sebagai "keunggulan" program PPDS Anestesi Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang dibandingkan universitas lain, harus segera dievaluasi mengingat dampaknya yang merugikan terhadap kesehatan fisik dan mental para residen.

Dengan demikian, sangat diperlukan audit menyeluruh terhadap program PPDS Anestesi di RSUP Dr. Kariadi untuk mencegah terjadinya korban lebih lanjut. Selain itu, penambahan jumlah dokter anestesi dan memastikan keterlibatan mereka secara langsung dalam menangani pasien sangat diperlukan agar beban kerja tidak sepenuhnya ditanggung PPDS dan untuk menjaga keselamatan pasien.

Terkait hal ini, Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan surat edaran yang memerintahkan penghentian sementara program Anestesi di RSUP Dr. Kariadi sampai investigasi selesai dilakukan, sebagaimana tercantum dalam surat resmi tertanggal 14 Agustus 2024.

Penghentian sementara ini penting untuk memastikan langkah-langkah yang bertanggung jawab diambil guna mencegah tragedi serupa di masa mendatang.

Peristiwa ini harus menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak, khususnya dalam merumuskan kebijakan yang memastikan kondisi kerja yang layak dan berkelanjutan bagi para tenaga medis.

Hanya dengan demikian, kita bisa memastikan efisiensi pelayanan kesehatan tanpa mengorbankan kesehatan dan keselamatan mereka yang berada di garis depan. (*)