Gibran Jangan Dilantik!

Sudahlah Gibran ini potensial, bahkan sudah, menjadi sampah negara. Merusak kehormatan dan martabat diri dan bangsa Indonesia. Kasihan rakyat Indonesia yang telah menderita oleh gaya politik bapaknya, masa’ harus dibuat lebih berat lagi dengan ulah anaknya?

Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan

KISAH Gibran Rakabuming Raka memang menarik. Sejak maju sebagai Calon Walikota Solo sudah menjadi bahan gunjingan. Anak Presiden Joko Widodo menang mutlak lawan musuh "pendamping". Mendapat dukungan mayoritas dari partai politik. Gibran jumawa atas kemenangan buatan tersebut. Pengaruh ayah sangat menentukan terhadap kemenangan Gibran.

Usaha ayah berlanjut dengan mengubah persyaratan menjadi Cawapres. Usia 40 tahun ditambah dengan pernah atau sedang menjabat Kepala Daerah Bupati/Walikota. MK (Mahkamah Konstitusi) yang diketuai Pamanda Anwar Usman mengabulkan dan Gibran pun lolos.

Putusan kontroversial itu berefek pada pemecatan Anwar Usman dari Ketua MK dan Hasyim Asyari dari Ketua KPU tetap membuat Gibran melenggang.

Seperti ayahnya, ia ingkar janji untuk menuaikan amanah jabatan. Tak bisa menyelesaikan periode kepemimpinannya. Merasa hebat. Inginnya terus naik dan naik dengan tidak mengukur kemampuan diri sendiri. Yang penting jadi Wapres meski dengan segala cara. Mungkin bagi Gibran tak ada kata curang dalam dunia politik.

Tidak ada yang bisa menghalangi tirani dan politik dinasti, pelantikan Wapres sudah di depan mata. Tinggal menghitung hari saja. Namun takdir menentukan lain, ada peristiwa pembocoran akun lama Fufufafa. Gibran kelabakan untuk membantah bahwa itu bukan akun miliknya, 99,99% orang tidak percaya bantahannya.

Sebelum klarifikasi super jelas, Fufufafa adalah gambaran bahwa pemilik akunnya menderita sakit mental dan jiwa itu adalah Wakil Presiden, maka artinya negara dalam keadaan bahaya (state of emergency).

Wakil Presiden yang memalukan tidak boleh ada di negara bermoral, negara Pancasila.

Dua pilihan yang keduanya menjadi kompetensi MPR, yaitu Gibran dilantik lalu dengan alasan politik, hukum dan moral kemudian diberhentikan. Untuk ini butuh kerja keras berupa kesepkatan atau kekompakan semua fraksi DPR maupun anggota DPD. Pilihan kedua adalah dengan alasan yang sama tetapi tidak melantik Gibran. Wapres baru kelak dipilih dan ditetapkan oleh MPR.

Langkah moderat MPR adalah dengan menunda pelantikan Gibran sebagai Wapres hingga semua masalah politik, hukum dan moral dirinya sudah selesai dan clear. Meskipun demikian baik langkah moderat maupun tegas sudahlah jelas tanggal 20 Oktober 2024 yang akan datang, Gibran tak boleh dilantik. Asasnya adalah "prevention better than cure" – mencegah lebih baik daripada mengobati.

Presiden dan seluruh jajaran penyelenggara negara akan berada dalam kesulitan akibat memikul beban berat andai Gibran dipaksakan dilantik dan ditetapkan sebagai Wakil Presiden. Kecacatannya sempurna apakah cacat demokrasi (KPU), cacat konstitusi (MK), cacat hak asasi (HCHR) maupun cacat moral (Fufufafa).

MPR baru bakal dituntut untuk mau mendengar dan melihat aspirasi atau perasaan rakyat. Tidak mengulangi kesalahan masa lalu yang hanya berkutat pada kekuasaan pragmatis. Dahulu suara rakyat dibuang ke dalam keranjang sampah.

Kini aspirasi dan suara rakyat itu adalah Gibran jangan dilantik. MPR harus mewujudkan.

Perusak Negara

Gibran terus dikejar kepemilikan akun Fufufafa. Tidak ada bantahan berbukti sebaliknya, dalam arti bahwa akun itu milik Fulan selain Gibran. Menkominfo pernah cari muka dengan menyatakan akun itu bukan milik Gibran tetapi tidak bisa menyebut milik siapa. Asbun namanya.

Kasus Fufufafa yang dikaitkan dengan Gibran tidak bisa dianggap enteng atau terus diambangkan. Gibran itu bukan orang biasa, tetapi orang aneh eh Wakil Presiden. Bangsa ini tidak boleh menjadi bangsa idiot, di mana sudah tahu Wakil Presiden terpilihnya itu bermasalah masih dilantik juga.

Masalah ini menyangkut perbuatan tercela.

Presiden saja yang melakukan perbuatan tercela bisa di-impeachment oleh MPR dan itu sudah menjadi aturan Konstitusi. Artinya pemimpin bangsa di samping tidak dibenarkan melanggar hukum seperti korupsi, pidana berat, dan penghianatan negara, juga tidak boleh melakukan perbuatan tercela.

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengingatkan bahwa seorang Presiden dan Wakil Presiden harus terbebas dari perbuatan tercela, bahkan menurut UU 7 tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 169 j masalah perbuatan tercela tersebut justru menjadi persyaratan bagi Presiden dan Wakil Presiden. Pandangan Refly Harun ini penting untuk menjadi perhatian kita bersama.

Dalam penjelasan Pasal 169 j yang dimaksud perbuatan tercela adalah perbuatan yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, dan norma adat. Konten Fufufafa telah memenuhi pelanggaran atas norma-norma tersebut.

Berkata-kata jorok, eksploitasi seksual di media, menuduh dan menghina, bahkan menodai agama bukan perilaku yang pantas dari seorang Wakil Presiden yang fotonya akan terpampang di ruang-ruang kelas sekolah.

Terhadap pelanggaran norma agama, susila dan adat tidak perlu melalui proses hukum yang membutuhkan waktu panjang dan berbelit. Pemimpin negara memiliki tuntutan yang berbeda.

Perilaku nista, rendah dan sampah, bukan "maqom" seorang pemimpin. Di sinilah kearifan bangsa tertuang dalam Konstitusi seperti Pasal 7A UUD 1945, Tap MPR Nomor VI tahun 2001, maupun UU Pemilu Pasal 169 j di atas.

Tap MPR Nomor VI tahun 2021 tentang Etika Kehidupan Berbangsa menyatakan, menuntut para penyelenggara negara untuk "siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu menunaikan amanah masyarakat, bangsa, dan negara".

Pokok-pokok etika kehidupan berbangsa harus "mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportivitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleran, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa".

Sudahlah Gibran ini potensial, bahkan sudah, menjadi sampah negara. Merusak kehormatan dan martabat diri dan bangsa Indonesia. Kasihan rakyat Indonesia yang telah menderita oleh gaya politik bapaknya, masa’ harus dibuat lebih berat lagi dengan ulah anaknya?

Harta dan nyawa para pahlawan bukan untuk dinikmati oleh orang bernama Jokowi, Iriana, Gibran ataupun Kaesang Pangarep.

Fufufafa adalah Ayat Tuhan bagi Jokowi dan keluarganya. Pelajaran tentang akibat buruk dari suatu perbuatan buruk. Akhir buruk dari jabatan yang dimulai dengan buruk. Lucu dan irasional jika para buzzer membuat baliho bergambar Jokowi dan Iriana dengan narasi ucapan terima kasih kepada guru bangsa.

Guru bangsa? Mendidik anak saja berwatak Fufufafa. Guru bangsa atau guru bangsat? Negara ini telah dikuras habis baik kekayaan alam maupun kekayaan uang. APBN tahun ke depan cekak.

Jokowi harus bertanggung jawab, Gibran tidak pantas dilantik. Periksa kekayaan keluarga Jokowi dan adili secepatnya.

Fufufafa menjadi virus dari kehancuran keluarga Istana. Keluarga yang merasa berkuasa hingga akhir masa.

Pasukan Bawah Tanah (Pabata) Jokowi membela habis Fufufafa, katanya Gibran itu lambang negara. Waduh, kemarin di IKN Garuda sudah diganti Kelelawar, sekarang lambang negara berubah lagi jadi Gibran eh Fufufafa.

Pabata pembela Fufufafa Rakabuming Raka memang tidak paham apa itu lambang negara. Besok lambang negara adalah Jan Ethes. (*)