Prabowo Keluarkan Dekrit Kembali ke UUD 1945 Asli, Mimpi Kalee?
Di tengah DPR, MPR, dan Presiden yang tidak peduli, bahkan menafikan suara rakyat, maka harapan para tokoh itu menjadi tipis untuk terealisasi. Rezim kini sedang menikmati hasil dari perekayasaan aturan.
Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
ARUS deras keinginan kembali ke UUD 1945 akibat amandemen atas hampir seluruh isi UUD 1945 seolah menemukan peluang dengan terpilihnya Prabowo Subianto sebagai Presiden Terpilih yang ditetapkan KPU dan didukung Putusan MK. Tidak sedikit tokoh kritis, bahkan oposisi yang merapat kepada Prabowo dengan harapan bahwa Prabowo bisa mengeluarkan Dekrit Presiden kembali ke UUD 1945.
Harapan itu tentu berlebihan karena kemenangan Prabowo bersama Gibran Rakabuming Raka hingga kini, bahkan selanjutnya, masih terus dipermasalahkan keabsahannya. Putusan hukum dinilai tidak berbasis moral dan etika. Produk dari sebuah kecurangan yang masih tertanam dalam sanubari rakyat Indonesia pendukung kejujuran dan keadilan.
Sebelum Pilpres 2024 muncul suara desakan agar Joko Widodo menyadari kelemahan UUD hasil beberapa kali amandemen, kemudian segera mengeluarkan dekrit untuk kembali ke UUD 1945 sebagaimana dahulu Soekarno melakukannya. Tapi wacana, bahkan desakan tersebut mundur dengan sendirinya berbarengan dengan kekhawatiran bahwa dekrit itu akan menjadi sebab dari perpanjangan masa jabatan Jokowi sebagai Presiden.
Ketika usia jabatan Jokowi memendek dan Prabowo akan memulai jabatan curangnya, maka mulai berharap Prabowo-lah yang akan mengeluarlan dekrit tersebut dengan keyakinan bahwa ia adalah prajurit patriotik. Pertanyaan serius apakah mungkin dan berani Prabowo melakukan itu?
Jawabannya adalah mimpi kalee, mengingat tiga hal, yaitu:
Pertama; Prabowo akan mengenang "jasa" Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengukuhkan kemenangan kontroversialnya. Maka dengan menghapus status MK melalui dekrit kembali ke UUD 1945 sama saja ia menghianati "penolong"-nya.
Kedua; Dengan berlakunya UUD 1945 maka pemilihan Presiden menjadi harus dilakukan oleh MPR. Konsekuensi logisnya segera diadakan pemilihan ulang. Prabowo tidak mungkin akan menggoyahkan kedudukannya sendiri. Di sisi lain, demi Gibran, Jokowi akan 'all out' menolak.
Ketiga; Dekrit sama saja dengan menegakkan konstitusi melalui mekanisme inkonstitusional. Dekrit tidak dikenal dalam aturan UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah amandemen. Hal ini berbeda dengan Soekarno yang mengeluarkan dekrit saat "deadlock" atas pembahasan soal konstitusi.
Atas dasar itu maka aneh jika para tokoh yang semula oposan mencoba merapat kepada Prabowo guna berharap keluar dekrit. Kembali ke UUD 1945 hanya bisa dilakukan oleh MPR bukan Presiden. Silakan saja desak MPR agar mau menggunakan kewenangannya untuk mengubah dan menetapkan UUD.
Di tengah DPR, MPR, dan Presiden yang tidak peduli, bahkan menafikan suara rakyat, maka harapan para tokoh itu menjadi tipis untuk terealisasi. Rezim kini sedang menikmati hasil dari perekayasaan aturan.
Jalan satu-satunya yaitu dengan desakan rakyat semesta.
Desakan rakyat semesta itu adalah "people power". Dan, sesungguhnya hal ini merupakan suatu keniscayaan dari rakyat yang harus merebut kembali kedaulatannya sendiri. (*)