Semua Ini Adalah Lanjutan Dari Pembungkaman Kelompok Tertentu
Berlanjut ke Pilpres 2024, Keloter terpental lagi. Lebih tepatnya disingkirkan lagi. Keloter yang selalu berusaha “taat konstitusi” dan “taat hukum” membuat pihak penguasa senang hati. Mereka tinggal mengatur rekayasa penghitungan suara. KPU dan Bawaslu sudah dalam genggaman.
Oleh: Asyari Usman, Jurnalis Senior Freedom News
HASIL Pilpres 2024 bukanlah rekayasa yang berdiri sendiri. Tidak hanya bertujuan untuk memenangkan paslon yang disenangi penguasa saja. Melainkan bagian dari skenario untuk mencegah kebangkitan “kelompok tertentu”.
Siapakah “kelompok tertentu” itu? Tulisan ini menganggap kelompok dimaksud sudah dipahami sepenuhnya oleh publik. Sebagai kisi-kisi saja, kelompok dimaksud sudah sejak lama dimusuhi oleh banyak pihak. Bahkan berbagai elemen yang sedarah sedaging dengan kelompok tersebut pun ikut memusuhinya.
Itulah “kelompok tertentu”. Kita sebut saja dengan “Keloter”. Namun, bukan “keloter” dalam konteks penyelenggaraan ibadah haji yang berarti “kelompok terbang”.
Kelompok ini memang seharusnya sudah terbang mengangkasa untuk memastikan penegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun apa daya “kelompok lain” alias “Kelola” bisa menindas “Keloter” itu. Secara terus-menerus pula.
Operasi politik tingkat tinggi tetap membuat Keloter pada posisi ‘grounded’. Di dunia penerbangan (aviation), ‘grounded’ bermakna ‘tidak bisa terbang’ atau ‘tidak boleh terbang’. Arti lain yang lebih luas adalah ‘dihukum’.
Menyebut ‘dihukum’, terasa makna ‘grounded’ seperti ini lebih dekat dengan suasana yang dialami oleh Keloter sejak lama. Dihukum dalam arti dibelenggu agar tidak bisa bergerak. Keloter ditindas, ditekan, dikerangkeng, dikriminalisasi, dan sejenisnya. Selalu dituduh melakukan, atau dikaitkan dengan, tindak terorisme. Tuduhan ini sangat manjur.
Ini dilakukan karena Kelola tidak ingin Keloter menjadi komponen politik yang kuat dan solid di negeri ini. Keloter tidak boleh muncul sebagai pemain dominan.
Sejauh ini para pemerhati politik, dan juga para praktisinya, menghindar dari teori bahwa Keloter dijegal sejak lama. Banyak alasan mengapa mereka menghindari pembahasan tentang Keloter yang terus-menerus dicegah dengan segala cara. Orang-orang yang menghindar itu ingin dipandang sebagai nasionalis sejati, egaliter, dan tidak intoleran.
Meskipun Keloter ditindas dari waktu ke waktu, dipecah-belah, diadu-domba, dikriminalisasi dan sebagainya, tapi orang-orang naïf yang menghindari pembahasan tentang nasib Keloter itu tetap saja mengatakan tidak ada penghadangan atau pencegahan. Tidak ada penjegalan maupun penindasan terhadap Keloter.
Keloter memang sejak awal Orde Baru ditindas. Yang mengonsep penindasan itu adalah CSIS (Centre for Strategic and International Studies). Yang mengeksekusi penindasan adalah para penguasa. Dimulai oleh Suharto. Keloter dijadikan musuh nomor satu. Tapi, Suharto kemudian tersadar. Dia sadar setelah mengetahui bahwa konseptor penindasan itu sendiri menjadikan Pak Harto sebagai sasaran.
Suharto segera balik kanan. Beliau mencoba menunjukkan preferensinya pada Keloter. Tapi sudah terlambat. Keloter sudah tercabik-cabik karena pertentangan internal yang dulunya sengaja dibuat/ diciptakan oleh si think tank CSIS. Sampai sekarang keterkotak-kotakan Keloter telah membatu.
Di celah-celah perpecahan itu, para tokoh Keloter berusaha membangkitkan semangat persatuan. Memang ada harapan. Penumbuhan kesadaran untuk menguatkan persaudaraan Keloter, cukup berhasil. Dan keberhasilan tersebut terjadi di kalangan kelas menengah. Ini berlangsung setelah Reformasi 1998.
Keloter pasca-Reformasi sangat meyakinkan. Perubahan di kelas menengah Keloter semakin kontras. Peranan mereka semakin kuat. Kekeloteran Keloter kian bersemarak. Namun, ketika Keloter menunjukkan antusias untuk bangkit dari keterpurukan politik, secara otomatis alarm anti-Keloter berbunyi kembali.
Pilpres 2019 membuktikan keberhasilan pembungkaman Keloter. Mereka kecewa. Bahkan ada yang berani menunjukkan kekecewaan itu di jalanan. Tapi, lagi-lagi penguasa berhasil menumpas dan menindasnya.
Berlanjut ke Pilpres 2024, Keloter terpental lagi. Lebih tepatnya disingkirkan lagi. Keloter yang selalu berusaha “taat konstitusi” dan “taat hukum” membuat pihak penguasa senang hati. Mereka tinggal mengatur rekayasa penghitungan suara. KPU dan Bawaslu sudah dalam genggaman.
Berbagai lembaga survei menciptakan opini publik bahwa anak haram konstitusi akan menang. Dan memang akhirnya menang curang yang kemudian dicuci oleh MK (Mahkamah Konstitusi) menjadi halal.
Walhasil, semua ini adalah kelanjutan dari pembungkaman Keloter. Kelompok ini, bagi mereka, tidak boleh menang di jalur konstitusional. Seolah-olah didorong untuk bangkit di luar jalur. (*)