Tiga Analisa Misteri Energi Vibrasi Nama Capres

Pendapat bahwa penguasa melanggar hukum dan aturan perundang-undangan untuk mendukung Paslon tertentu merupakan masalah serius. Jika terbukti, ini bisa menjadi dasar bagi upaya hukum dan protes politik.

Oleh: Guntur Surya Alam, Dokter SpB, Sp BA (K) Dig, MPH, FICS

SETIDAKNYA ada tiga analisa setelah membaca tulisan Hamka Suyana, Pengamat Kemunculan Pratanda: “Misteri Energi Vibrasi Nama Capres: Kembar Nama, Pratanda Akan Bernasib Sama”, di Freedom News (Minggu, 25 Zulqaidah 1445 H / 02 Juni 2024).

Disebutkan, Pilpres 2024 menorehkan sejarah kelam sebagai Pilpres abnormal, karena tingkat kejahatan demokrasi yang dilakukan Penguasa untuk mendongkrak kemenangan Paslon yang dipersiapkan melanggengkan kekuasaan, dilakukan sesuka nafsu serakahnya, sehingga hilang rasa malu dan tidak merasa berdosa melanggar hukum, menabrak peraturan perundang-undangan, menginjak-injak norma etika dan norma demokrasi.

Tapi alangkah sialnya, Cawe-cawe Penguasa yang abnormal itu, hanya mampu "mengakali" aturan konstitusi untuk membantu "mencarikan kelengkapan Syarat" bagi Paslon 02 dengan men-setting kemenangan 58%, yang dianggapnya akan aman untuk merebut kekuasaan.

Rupanya, sang sutradara tidak sadar bahwa secara substansial, Cawe-cawe Penguasa terancam gagal total. Karena, meskipun Penguasa berhasil menyalahgunakan kekuasaan dan seandainya mampu bersengkongkol dengan segolongan bangsa jin untuk membantu merebut kekuasaan itu, namun fakta implisitnya, hanya berhasil merebut kulitnya. Sedangkan isi dan substansi jabatan presiden, belum bisa atau tidak bisa dikuasai Penguasa.

Kemampuan tertinggi Cawe-cawe Penguasa hanya mampu mencarikan syarat administratif Paslon 02 agar bisa dilantik menjadi presiden, tetapi tidak akan mampu dan tidak mungkin bisa memastikan takdir kekuasaan akan sesuai dengan keinginannya.

Sebab yang akan ditakdirkan menjadi Presiden merupakan hak prerogatif Allah yang bersifat sangat rahasia. Allah sudah menegaskan melalui firman-Nya pada Al Qur'an, Surat Ali Imran ayat 26 bahwa yang memberikan kekuasaan dan yang mencabut kekuasaan adalah Allah, bukan hasil usaha tipu daya nafsu manusia.

Kata bijak Arab "Man jadda wajada" tetap berlaku sepanjang zaman, termasuk momentun Pilpres 2024 pun terikat oleh kata bijak tersebut. Bahwa yang akan mendapatkan jabatan Presiden adalah Capres yang bersungguh-sungguh berusaha, dialah yang akan mendapatkan.

Analisa Politik

Pertama; Manipulasi Kekuasaan:

Bapak Hamka berpendapat adanya manipulasi oleh penguasa untuk mendukung Paslon tertentu, yang dinilai sebagai pelanggaran demokrasi. Tindakan ini, jika benar, menunjukkan degradasi demokrasi di Indonesia, di mana proses pemilu tidak berjalan secara bebas dan adil.

Kedua; Legitimasi Kemenangan:

Bapak Hamka menyoroti bahwa kemenangan Paslon 02 (Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka) dianggap tidak substansial karena diduga hasil dari "cawe-cawe" atau campur tangan dari penguasa, bukan hasil usaha yang keras dari calon tersebut. Ini mengindikasikan krisis legitimasi politik, di mana pemenang pemilu mungkin tidak memiliki dukungan penuh dari rakyat.

Analisa Psikologi

Pertama, Persepsi Keadilan:

Bapak Hamka menggunakan konsep "energi vibrasi" dan "isyarat langit" untuk menggambarkan perasaan tidak adil yang dirasakan oleh masyarakat. Psikologis ini mencerminkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem pemilu yang dianggap curang dan tidak transparan.

Kedua; Psikologi Calon Presiden:

Bapak Hamka juga membahas sikap santai Prabowo Subianto selama kampanye, yang berbeda dengan pepatah "man jadda wajada" (siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil). Hal ini mungkin menimbulkan persepsi bahwa usaha dan kerja keras bukanlah faktor utama dalam memenangkan pemilu, yang bisa berdampak negatif pada moral masyarakat.

Analisa Hukum

Pertama; Pelanggaran Konstitusi dan UU:

Pendapat bahwa penguasa melanggar hukum dan aturan perundang-undangan untuk mendukung Paslon tertentu merupakan masalah serius. Jika terbukti, ini bisa menjadi dasar bagi upaya hukum dan protes politik.

Kedua; Kesaksian di Mahkamah Konstitusi:

Bapak Hamka menyebut kesaksian di Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa suara Paslon 02 seharusnya nol. Ini menunjukkan adanya kemungkinan pelanggaran serius dalam proses pemilu yang perlu diselidiki lebih lanjut untuk memastikan integritas dan keadilan pemilu.

Kesimpulan

Bapak Hamka mengekspresikan kritik keras terhadap proses Pilpres 2024, dengan fokus pada dugaan manipulasi politik, persepsi ketidakadilan, dan pelanggaran hukum.

Jika dugaan ini benar, ada implikasi serius terhadap demokrasi Indonesia, termasuk hilangnya kepercayaan publik terhadap sistem pemilu dan pemerintahan. Untuk menangani isu ini, perlu dilakukan investigasi yang transparan dan tindakan tegas sesuai dengan hukum yang berlaku. (*)