Jokowi Cawe-cawe Rakyat Wajib Melawan Rame-rame

PERNYATAAN Presiden Joko Widodo yang cawe-cawe tidak pantas dikeluarkan pada saat tensi politik semakin panas. Sebagai presiden dan sebagai kepala negara, mestinya ia mengeluarkan pernyataan yang menyejukkan dan mendinginkan suasana.

Pernyataan cawe-cawe itu jelas semakin membuat kegaduhan di tengah masyarakat. Apalagi, hal itu diucapkannya secara resmi dari Istana Kepresidenan, Jakarta, sebuah tempat sakral dan mestinya menjadi simbol netral bagi demi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Ucapan Jokowi itu disampaikan secara resmi di hadapan para pimpinan media dan sejumlah podcaster nasional. Pertemuan seperti itu, jelas masuk agenda resmi Jokowi sebagai presiden, bukan sebagai pribadi, apalagi pengurus atau petugas partai.

Ada peserta pertemuan yang mencatat Jokowi mengucapkan cawe-cawe lebih dari tujuh kali. Dalam pertemuan itu, ia meminta supaya tidak menyalahartikan pernyataannya tentang cawe-cawe itu. "Jangan terus dianggap saya cawe-cawe urusan politik praktis," kata Jokowi.

Minta tidak menyalahartikan dan dikaitkan dengan Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2024 pun rakyat sudah tahu maksud yang sebenarnya. Rakyat sudah tahu, tujuan Jokowi cawe-cawe, yaitu semakin memperjelas upayanya menjegal bakal calon presiden (bacapres) Anies Rasyid Baswedan. Toh, cawe-cawe itu diucapkannya ketika ada pertanyaan menyangkut Capres 2024.

Selama ini, rakyat juga sudah melihat berbagai upaya penjegalan Jokowi terhadap Anies. Ketidaksukaannya terhadap Anies jelas sudah terlihat sejak mantan juru bicara tim pemenangan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada Pemilu Presiden 2014 itu terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta tahun 2017, mengalahkan Basuki Tjahja Purnama alias Ahok yang dipenjara karena terbukti menista agama Islam.

Penggantian Anies sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanpa alasan yang jelas, juga karena Jokowi tidak suka kepada mantan Rektor Universitas Paramadina itu. Padahal, selama memimpin Kemendikbud prestasinya bagus. Kabar yang beredar, Jokowi mengganti Anies karena semakin populer dengan kebijakan pendidikannya yang merakyat. Bahasa politiknya, "Jokowi takut kepopulerannya sebagai presiden dikalahkan Anies, sang Mendikbud. Jokowi takut kalah bersaing dalam Pilpres 2019 jika Anies maju."

Ketidaksukaan Jokowi terhadap Anies semakin menjadi-jadi. Pertama,. setelah Partai Nasdem mendeklarasikannya sebagai bacapres 2024, pada Senin, 3 Oktober 2022, saat Anies masih Gubernur DKI Jakarta.

Kedua, upaya kriminalisasi yang dilakukan KPK (Komisi Pemberatasan Korupsi) terhadap Anies dalam perhelatan Formula-E. Diduga ada perintah dari Jokowi kepada Ketua KPK, Firly Bahuri supaya menjadikan Anies tersangka. Kabarnya, Jokowi memanggil Firly dan "memaksanya" agar KPK menjadikan Anies tersangka. Akan tetapi, upaya paksa menersangkakan itu ditolak sebagian komisioner KPK dan penyidik yang menanganinya.

Ketiga, Jokowi tidak netral dengan cara menghadiri pengumuman bacapres PDIP, Ganjar Pranowo di Istana Batu Tulis, Bogor, Jawa Barat. Kehadirannya disebut sebagai petugas/kader partai. Akan tetapi, kehadirannya itu tidak bisa dipisahkan Jokowi sebagai presiden dan kepala negara. Jadi, sangat lucu seorang presiden menghadiri pengumuman bacapres. Kalau dia netral, setiap deklarasi bacapres harus dihadirinya. Apalagi, setelah deklarasi ia meninggalkan Istana Batu Tulis satu mobil. Kemudian, pulang bersama menggunakan Pesawat Kepresidenan ke Solo.

Ketiga, akal busuk Jokowi yang ingin menjegal Anies juga terlihat dari semakin renggangnya hubungannya dengan Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh. Padahal, Nasdem masih masuk koalisi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin.

Jokowi dan jajarannya, termasuk Pramono Anung tidak perlu lagi mencoba meluruskan maksud cawe-cawe itu. Rakyat sudah pintar dan tidak bisa dibodoh-bodohi dalam berpolitik maupun masalah lainnya. Rakyat sudah cerdas.

"Ya untuk hal ini, saya harus cawe-cawe. Karena untuk kepentingan negara," kata Jokowi. Demi kepentingan bangsa dan negara kok cawe-cawe dan tidak netral. Ya, Jokowi harus cawe-cawe dan tidak netral dalam Piplres 2024 karena ingin menyelamatkan dirinya dan keluarganya dari jeratan hukum. Ia tidak ingin bacapres pilihannya (Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo) dikalahkan oleh Anies. Jika di antara keduanya, terutama Ganjar yang menang, ia dan keluarga akan aman dari jeratan hukum?

Jika Anies yang menang, Jokowi, keluarga dan koroninya akan masuk penjara (?). Itu hanya sebuah ketakutan. Siapa pun yang terpilih sebagai presiden tahun depan, mestinya tidak perlu ditakuti Jokowi. Asalkan ia yakin dengan kebijakannya selama 10 tahun sebagai presiden benar, tidak melabrak konstitusi, undang-undang dan berbagai peraturan yang ada.

Kok ketakutan? Bisa jadi karena selama Jokowi memimpin, KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) semakin merajalela. Padahal, KKN inilah tema sentral reformasi 1998 yang menjatuhkan Presiden Soeharto yang dianggap (sebagian orang) otoriter.

Nepotisme, anak menjadi Wali Kota Solo dan menantu menjadi Wali Kota Medan. Padahal, Jokowi belum dua periode menjadi presiden. Bandingkan dengan Soeharto, 32 tahun berkuasa dan baru menjadikan putrinya, Siti Hardijanti Rukmana atau Tutut menjadi Menteri Sosial (Mensos) pada 1998 atau menjelang kejatuhannya.

Korupsi. Di era Soeharto terjadi di sekitar Binagraha (tempat ia berkantor di Istana Kepresidenan) dan Jalan Cendana (rumah pribadinya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat). Sedangkan di era Jokowi, korupsi makin merata mulai dari Jakarta sampai ke Surakarta. Mulai dari kepala desa hingga menteri, mulai dari simpatisan partai sampai petinggi partai.

Kolusi, jelas makin parah. Setiap kali ada menteri Jokowi yang menjadi tersangka korupsi,hampir selalu melibatkan pengusaha atau kolega di PDIP. Meski selalu dibantah, tetapi fakta berkata lain. Ingat kasus mantan Mensos, Juliari Peter Batubara yang melibatkan jaringan pengusaha yang diduga kuat menjadi penyokong PDIP. Demikian juga kasus Harun Masiku dan sederet kasus korupsi lainnya.

Jokowi cawe-cawe dan tidak netral dalam Pilpres 2024. Oke! Silahkan saja. Ucapannya yang tidak akan netral itu juga semakin membuka tabir, Jokowi juga tidak netral dalam Pilpres 2019 yang lalu. Walau sudah dimenangkan Mahkamah Konstitusi, namun ucapan Jokowi yang cawe-cawe itu semakin memperjelas Pilpres 2019 penuh kecurangan, karena Jokowi sebagai presiden campur-tangan cukup dalam.

Jokowi cawe-cawe! Itu masalah, karena melanggar moral dan etika, sekali pun demi bangsa dan negara. Tidak pantas presiden mengucapkan kata itu. Kecuali, Jokowi benar-benar amoral politik.

Jika Jokowi cawe-cawe, tidak salah jika rakyat melawan rame-rame. Aksi penolakan atas ucapannya itu akan terus bergulir. Tidak cukup penolakan yang hanya disampaikan tokoh bangsa, akademisi, pengamat dan kalangan politisi. Akan tetapi, harus dilawan dengan berbagai upaya aksi unjuk rasa, sampai Jokowi mencabut ucapannya itu.

Rakyat wajib melawan rame-rame, demi bangsa dan negara yang selama kepemimpinan pengusaha mebel itu sudah terpecah dalam perang kata-kata di media sosial (medsos). Emak-emak, mahasiswa dan para pekerja atau buruh harus melawan Jokowi rame-rame.

Tiap hari pendukung Jokowi terutama BuzzerRp mengeluarkan kalimat provokatif yang dibalas dengan sinis oleh kalangan oposisi. Jiķa, pemimpin seperti Jokowi masih berkuasa ke depan (membiarkan buzzer seenaknya), tidak menutup kemungkinan perang fisik akan benar-benar terjadi dengan kalangan oposisi. NKRI akan pecah. Semoga tidak terjadi.