Koalisi Kebangsaan Suntik Mati Demokrasi

SUHU politik semakin memanas. Penyebabnya, karena elit partai politik pendukung pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang mencoba menghalalkan segala cara menyuntik mati demokrasi.

Partai pendukung pemerintahan Jokowi, kecuali PDI Perjuangan dan Partai Nasdem sepakat membentuk koalisi besar, yang kemudian diberi nama (sementara) Koalisi Kebangsaan. Jokowi pun merestuinya, dan di bawah komandonya. Belum lagi partai nol koma sekian yang ingin cari muka, dipastikan ikut membebek.

Dari namanya, terlihat sangat nasionalis dan seakan menjadi pemersatu bangsa. Padahal, sangat jauh dari kenyataan. Ibarat kata pepatah, "Jauh panggang dari api".

Ya, namanya Koalisi Kebangsaan yang merupakan jelmaan dari Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR). Petinggi dari lima partai, yaitu Gerindra, Golkar, PKB, PAN, dan PPP merupakan penggagas Koalisi Kebangsaan.

Kok, Koalisi Kebangsaan disebut menyuntik mati demokrasi? Mana mungkin? Bagaimana caranya?

Koalisi Kebangsaan bukan sekedar ingin menghentikan atau membubarkan Koalisi Perubahan, gabungan Parta Nasdem, PKS (Partai Keadilan Sejahtera) dan Partai Demokrat mengusung Anies Rasyid Baswedan sebagai bakal calon presiden (Bacapres) 2024. Akan tetapi, niatnya bukan saja menjegal, tetapi jauh dari itu, ingin menyuntik mati demokrasi.

Para elit partai di Koalisi Kebangsaan sangat bernafsu menunda Pemilihan Umum (Pemilu). Sama dengan syahwat Jokowi dan para pendukungnya agar Pemilu ditunda atau perpanjangan masa jabatan presiden Jokowi minimal tiga tahun.

Coba kita ingat-ingat siapa menteri di Kabinet Jokowi dan juga elit partai yang terus mewacanakan atau mengkampanyekan agar Pemilu 2024 ditunda. Namanya tidak asing lagi. Mereka adalah Airlangga Hartarto (Ketua Umum Partai Golkar/Menteri Koordinator Bidang Perekonomian), Luhut Binsar Panjaitan (Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi/ Ketua Dewan Penasihat Golkar), Zulkifli Hasan (Menteri Perdagangan/Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN). Dua lainnya, Muhaimin Iskandar (Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa/Wakil Ketua DPR RI) dan Muhammad Mardiono (Pelaksana tugas Partai Persatuan Pembangunan (PPP)/mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden atau Wantimpres).

Koalisi Kebangsaan. Namanya keren dan mentereng. Akan tetapi, patut diduga tujuan yang sebenarnya adalah ingin menyuntik mati demokrasi. Oleh karena itu, Koalisi Kebangsaan lebih cocok ganti nama menjadi “Koalisi Kebangetan”.

Pertemuan petinggi parpol Koalisi Kebangsaan terus dilakukan. Terakhir, digelar di rumah Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Sabtu, 8 April 2023.

Janji manis pun keluar dari pertemuan itu. Katanya, pertemuan dimaksudkan memperkuat komitmen kebangsaan, menyambut potensi Indonesia menjadi negara maju, apalagi sudah masuk tahun politik, menjelang Pemilu 2024.

Pertemuan belum menyetujui nama Koalisi Kebangsaan secara permanen, karena masih berupa penjajakan. Apalagi, PDI-P yang menjadi partai pendukung utama pemerintahan Jokowi – Ma'ruf Amin, belum masuk.

“Negara besar enggak mungkin diurus satu dua (partai politik), tapi harus besar juga yang urus, yang kita kadang-kadang saya, sebut Koalisi Kebangsaan,” ujar Zulkifli Hasan seusai pertemuan di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Sabtu, 8 April 2023.

Sekali lagi, patut dicurigai, Koalisi Kebangsaan tidak hanya sekedar ingin menjegal Anies Baswedan. Akan tetapi, jauh dari hal itu. Koalisi tersebut sedang berupaya supaya Pemilu 2024 ditunda.

Juga mewacanakan pemilihan presiden kembali ke MPR. Apa semudah itu? Ya, karena jika Koalisi Kebangsaan terwujud, akan sangat mudah melakukannya. Sebab, dapat dipastikan kursi MPR sudah dikuasai. Tinggal menunggu Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri apakah setuju dan mau bergabung.

Anggota MPR adalah gabungan dari anggota DPR dan DPD (Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah). Menggiring Pilpres lewat MPR dan penundaan Pemilu 2024 menjadi mudah dilakukan dengan terbentuknya Koalisi Kebangsaan.

Karena mayoritas anggota MPR sudah berada di bawah ketiak Koalisi Kebangsaan. Sebagian besar anggota DPD yang diharapkan menjadi "opisisi" dari Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, sudah tumpul.

Mereka setuju Pemilu 2024 ditunda, dan hal itu juga menguntungkan, karena secara otomatis berarti juga ikut memperpanjang masa keanggotaan di DPD/MPR. Demikian juga anggota DPR/MPR.

Hitungan di atas kertas, sedikitnya 65 persen anggota MPR sudah dikuasai Koalisi Kebangsaan. Jika PDIP bergabung, angkanya bisa mencapai 85 persen.

Jika sudah demikian, tinggal mewacanakan Sidang Istimewa atau SI MPR.

Sudah dapat dipastikan, SI MPR dengan agenda, "Pemilihan Umum (Pemilu) Ditunda dan Pemilihan Presiden Kembali ke MPR", akan berjalan dengan mudah dan mulus. Bisa juga Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) tentang Penundaan Pemilu 2024. Anggota DPR akan mudah menyetujuinya menjadi UU. Sama seperti Perppu Cipta Kerja atau Omnibus Law yang begitu mudah disahkan DPR menjadi Undang-Undang.

Jika pemilihan presiden kembali ke MPR, itu artinya demokrasi disuntik mati. Hal itu mengingatkan kita kepada masa Orde Lama dan Orde Baru.

Soekarno diangkat menjadi Presiden seumur hidup melalui Ketetapan MPRS No. III/MPRS tahun 1963 tentang Pengangkatan Dr Ir Soekarno sebagai Presiden Seumur Hidup.

Soeharto, lewat MPR berkuasa 32 tahun. Itu terjadi karena suara anggota parlemen kepadanya selalu setuju diangkat menjadi presiden dalam sidang lima tahunan. Koalisi Kebangsaan sedang menggiring supaya demokrasi disuntik mati! (*)