Sudah Waktunya Densus 88 Dikerahkan ke Papua

TANAH Papua semakin memanas. Sabtu, 15 April 2023/24 Ramadhan 1444 Hijriah, Tim Gabungan Satgas Yonif (Satuan Tugas Batalyon Infantri) R 321/GT dan Kopassus diserang Kelompok Teroris Separatis Papua (KTSP).

Berdasarkan informasi yang beredar, jumlah personil TNI (Tentara Nasional Indonesia ) yang tergabung dalam tim yang bertugas membebaskan pilot Susi Air itu 36 orang, terdiri dari 20 orang anģgota YR 321/GT dan 16 orang anggota Kopassus (Komando Pasukan Khusus).

Jumlah korban masih simpang siur. Ada yang menyebutkan enam orang tewas dan sisanya belum dikerahui keberadaanya. Pihak KTSP menyebutkan sembilan orang tewas dan sisanya sebagian mereka tangkap.

Belum ada angka pasti jumlah prajurit yang gugur. Juga belum diketahui, apakah yang gugur atau ditangkap kelompok teroris itu berasal dari kesatuan elit TNI Angkatan Darat, Kopassus (Komando Pasukan Khusus) atau bukan.

Jika korban tewas dan yang ditangkap itu anggota Kopassus, kita sangat prihatin, karena peristiwa tersebut terjadi persis satu hari menjelang hari jadinya. Sebagaimana diketahui, tiap 16 April diperingati hari jadi kesatuan baret merah itu.

Adalah Kolonel A.E. Kawilarang mendirikan Kesatuan Komando Tentara Territorium III/Siliwangi (Kesko IT) pada 16 April 1652, yang menjadi cikal bakal Kopassus. Tentu sangat memprihatinkan dan mencemaskah kita, karena yang jadi korban ada yang berasal dari anggota pasukan khusus, pasukan elit, pasukan yang senantiasa diandalkan dalam menangani peristiwa genting, seperti penumpasan G-30-S/PKI.(Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia), pembebasan pesawat Garuda yang dibajak kelompok bersenjata di Bandar Udara Don Mueang, Bangkok, Thailand dikenal dengan Operasi Woyla, pada 31 Maret 1981. Sederet operasi militer melibatkan Kopassus, baik di Timor-Timur dan Aceh. Tentu di Papua yang sudah lama terus bergejolak.

Sudah banyak korban militer, polisi dan sipil yang dilakukan kelompok teroris Papua. Bahkan, korbannya ada yang Brigadir Jenderal TNI yang menjadi Kepala Badan Intelijen Nasional Daerah (Kabinda) Papua. Dia adalah Brigjen TNI Putu Dani Nugraha Karya gugur usai ditembak oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) kelompok Lekagak Telengen di Beoga, Puncak, Papua.

Biasanya, ketika situasi sudah memanas, dan korban tentara banyak, operasi militer pun ditingkatkan di bumi Cendrawasih itu. Akan tetapi, operasi militer yang dilakukan TNI, hanya berlangsung singkat, terutama ketika ada beberapa orang pelaku teror sudah ditangkap atau ditembak mati, maka operasi militer pun mengendur.

Akibatnya, sel-sel kekuatan mereka seakan dibiarkan tumbuh dan berkemang. Tidak jelas kenapa? Padahal, korban di pihak militer Indonesia terus berjatuhan.

Kembali ke jumlah korban dalam peristiwa yang terjadi Sabtu sore sekitar pukul 16. 30 Waktu Indonesia Timur (WIT) itu, tentu kita sangat prihatin. Walaupun misalnya hanya satu atau dua orang tewas, tetapi itu menyangkut nyawa prajurit. Apalagi, sampai 6 atau 9 orang dan sisanya belum diketahui berada di mana.

Penanganan Papua, tidak bisa lagi secara humanis, apalagi kelompok teroris itu sudah mengatakan semua itu merupakan awal perang. Mereka yang ingin memisahkan diri dari bumi pertiwi harus dibasmi. Genderang perang mereka tabuh terus. Bahkan KTSP mengatakan, pilot Susi Air, Phillip Mehrtens, berkebangsaan Selandia Baru tidak akan dilepas sebelum ada pengakuan dari pemerintah Indonesia atas Papua Merdeka.

Sekali lagi kita prihatin atas peristiwa yang menimpa prajurit TNI yang hanya ingin membebaskan WNA (Warga Negara Asing) yang sudah disandera oleh gerombolan KTSP itu sejak 7 Februari 2023 yang lalu.

Ada beberapa catatan yang mesti diperhatikan dalam menangani masalah Papua. Pertama, apakah kekerasan demi kekerasan yang terjadi di wilayah ini akan terus dibiarkan? Mengapa upaya merdeka yang dinginkan segelintir masyarakat Papua dibiarkan begitu saja dengan jumlah korban yang terus bertambah baik dari kalangan militer dan sipil?

Kedua, aksi-aksi teror yang dilakukan KTSP itu tidak bisa dibiarkan terus. Anggota TNI yang menjadi korban KTSP itu adalah prajurit yang ingin membebaskan WNA. Jangan sampai TNI malah mereka dipojokkan dalam kasus ini. Penculikan dan penyanderaan warga sipil tidak dibenarkan dalam keadaan apa pun, bahkan dalam keadaan perang.

Ketiga, kita mengharapkan supaya Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Listyo Sigit mengerahkan pasukan Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror secara besar-besaran. Pengerahannya harus melebihi jumlah pasukan saat memburu terduga teroris di Pulau Jawan dan Sumatera.

Pengerahan pasukan Densus 88 ini perlu dilakukan, mengingat KTSP senantiasa melakukan teror terhadap masyarakat sipil. Beberapa kali mereka melakukan pembakaran desa dan fasilitasnya. Itu bentuk teror yang cukup jelas dan nyata.

Diperkirakan banyak yang tidak setuju pengerahan pasukan Densus 88. Sebab, masalah Papua merupakan domain militer. Akan tetapi, lebih bagus mengerahkan pasukan Densus 88 ketimbang memberlakukan DOM (Daerah Operasi Militer) di wilayah tersebut.

Lagi pula, pengerahan Densus 88 yang peralatannya sangat canggih dan personilnya gagah berani (seperti ketika kita tonton ditelevisi saat mereka memburu terduga teroris yang beragama Islam) adalah dalam rangka sinergitas, soliditas dan solidaritas TNI dan Polri. Bukankan selama ini petinggi di kedua institusi tersebut selalu menggembar-gemborkannya? Ayo tunjukkan soliditas, solidariras dan sinergitas itu. Tanah Papua memanggil Densus 88.